
SUAKAONLINE.COM, Infografis – Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September, diperingati setelah pemikiran Presiden Soekarno ditindaklanjuti oleh Menteri Pertanian, Soenaryo, bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Gadjah Mada dalam membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria. RUU tersebut akhirnya disetujui dan diberlakukan untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1960 sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.
Soekarno saat itu memiliki konsen terhadap agraria sebagai entitas bangsa. Soekarno percaya bahwa petani yang memiliki tanah sendiri akan menggarapnya dengan lebih intensif dan menganggap reforma agraria dapat menyelesaikan masalah agraria sisa kolonial dan feodalisme, sekaligus meletakkan fondasi ekonomi nasional. Adanya gelombang reforma agraria yang dilakukan oleh berbagai negara yang baru saja merdeka dari jajahan negara kolonial, juga turut mempengaruhi pemikiran Soekarno.
Sayangnya harapan itu tidak sesuai dengan realita. 60 tahun sudah UUPA disahkan, rakyat kecil hanya menguasai 6% tanah di indonesia. Hal ini berdasarkan Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2017, kurang lebih 71% tanah di Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan, 7% dikuasai oleh para konglomerat, baru sisanya sekitar 6% dikuasai oleh rakyat kecil.
Laporan ini juga, menyoroti situasi agraria sepanjang periode kekuasaan pemerintahan Jokowi, dari 2014 hingga 2019. Sepanjang 2014-2019, konflik agraria ada 2.243 kasus, mencakup 5,8 juta hektar wilayah konflik di seluruh provinsi di Indonesia. Data KPA 2015-2018 juga mencatat terjadi 1.769 konflik agraria melibatkan masyarakat adat, petani dan masyarakat pedesaan dengan peningkatan konflik mencapai 13-15% per tahun.
Konflik tersebut terjadi antara masyarakat, seperti petani, masyarakat adat, nelayan, atau warga miskin dengan kelompok badan usaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, properti real estate, tentara dan negara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menilai, aroma keberpihakan pemerintah terhadap investasi makin menguat di tengah makin kaburnya komitmen pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Makanya, sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik agraria yaitu sektor perkebunan. Hal ini dikarenakan adanya praktek pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah.Termasuk juga penggusuran dan pemindahan paksa demi pembangunan infrastruktur, pariwisata dan proyek konservasi. Izin kepada perusahaan perkebunan sawit keluar di atas lahan warga.
Peneliti dan Desain: Siti Hannah Alaydrus
Sumber : Catahu Konsorsium Pembaruan Agraria 2019, Serikat Petani Indonesia, Katadata.co.id, berbagai Jurnal
The post Hari Tani 2020: Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan appeared first on Suaka Online.