
Aksi teatrikal yang dilakukan secara spontan dan menggambarkan perbudakan karena demokrasi prosedural, menyertai Aksi Sorak di jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Selasa (2/8/2016). Aksi ini digelar untuk menanggapi represi kawan-kawan Papua yang terjadi di Jogja beberapa waktu lalu. (SUAKA / Hasna Salma)
SUAKAONLINE.COM, Bandung – “Demokrasi sampah bagi kami adalah demokrasi yang ditakar berdasarkan logika modal, investasi dan konsekuensinya menjadi demokrasi yang prosedural,” ungkap Juru Bicara Aksi Sorak (Solidaritas Rakyat), Barra, saat melakukan aksi di jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Selasa (2/8/2016).
Menurutnya, saat ini, demokrasi liberal menjadi panutan masyarakat khususnya di Indonesia. Hal ini berarti bahwa demokrasi yang terjadi saat ini merupakan demokrasi prosedural. Dimana rakyat hanya dilibatkan dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu), dan ketika yang dipilih berdusta atas janjinya, rakyat tidak punya hak untuk pilihannya.
Barra menambahkan, awal pemicu terjadinya aksi Sorak ini berawal dari menanggapi terjadinya represi kawan-kawan Papua yang terjadi di Jogja beberapa waktu lalu. Berangkat darisana, kemudian kawan-kawan Sorak mencoba menanggapi dengan melakukan gerakan terhadap demokrasi.
“Karena bagaimanapun, represif yang dilakukan di Papua itu untuk demokrasi, akses untuk melakukan mimbar bebas tidak dibuka dan juga unjuk rasa dibatasi,” kata Barra. Sorak sendiri juga mengusung sebuah kesepakatan bahwa makna dari aksi ini salah satunya untuk menyatukan ideologi dan gerakan bersama.
Barra menambahkan, situasi Papua saat ini merupakan situasi demokrasi Indonesia sebelum tahun 1994 yang penuh dengan represifitas dan rakyat tidak punya kebebasan berkumpul, serta menyuarakan pendapat.
Demonstrasi sendiri dijadikan sebagai instrumen untuk menyampaikan gagasan soal demokrasi, meskipun dalam satu kali demonstrasi tersebut tdak akan mengubah apapun. Selain itu, Pers juga merupakan instrument penting yang membantu menyebar luaskan gagasan tersebut kepada masyarakat umum, dan menyebarkan selebaran yang berisi gagasan isi kepala dari solidaritas aksi.
Salah satu partisipan aksi, Mohamad Chandra Irfan mengungkapkan bahwa aksi ini akan diperluas, karena jika hanya berbicara soal Papua itu hanya sektoral yang artinya ada hal lain juga yang bisa diperjuangkan selain Papua. Tuntutan yang disampaikan yaitu membubarkan komando teritorial yang ada di Papua, menarik semua organ baik militer maupun non militer yang melakukan aksi intimidasi serta menuntut kepada pemerintah untuk membuka akses demokrasi seluas-luasnya.
“Kami berharap pemerintah bisa lebih terbuka terhadap persoalan demokrasi ini, yang kita usung itu bukan demokrasi yang selama ini kita amini tapi demokrasi yang neoliberal dimana seluruhnya diarahkan untuk kepentingan kapitalisme. Yang kami inginkan itu demokrasi yang menuntut rakyat untuk ikut berpartisipasi juga,” lanjut Chandra.
Sorak yang tergabung dari kumpulan organisasi dari beberapa kampus di Bandung, antara lain, Pusat Pembebasan Nasional, Rumah Dialektika, Aliansi Mahasiswa Papua, suku Badot, kawan-kawan Universitas Pasundan (Unpas), dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daun Jati dari. Aksi ini juga disertai dengan aksi teatrikal yang dilakukan secara spontan dan menggambarkan perbudakan karena demokrasi prosedural.
Reporter : Hasna Salma
Redaktur : Edi Prasetyo