SUAKAONLINE.COM – Senat Mahasiswa Fakultas (Sema-F) Tarbiyah dan Keguruan melaksanakan Musyawarah tingkat Tinggi (Musti) pada Minggu (24/8/2020) dan Rabu (26/8/2020) yang dilakukan secara daring melalui aplikasi Google Meet. Namun Musti tersebut belum rampung, disebabkan dengan adanya lima jurusan yang walk out dari forum. Lima jurusan tersebut terdiri dari Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, Pendidikan Bahasa Inggris dan Manajemen Pendidikan Islam.
Keluarnya lima jurusan dari forum
Musti berasal dari rasa kekecewaan atas keputusan-keputusan yang diambil oleh
Sema-F. Keputusan yang diambil oleh Sema-F berkaitan dengan keputusan aturan
dasar yang menjadi landasan kegiatan Musti. Sema-F menggunakan Persema No. 1
Tahun 2019. Sedangkan sudah ada Persema No. 1 Tahun 2020 yang sudah disahkan.
Dipakainya Persema No. 1 Tahun 2019, karena Sema-F menganggap bahwa adanya kecacatan administratif pada Persema No. 1 Tahun 2020, akibat adanya tanda tangan ketua Sema FTK yang sudah dinyatakan lulus. Hal tersebut menjadi perdebatan panjang di forum, sampai sidang ditunda selama 2×22 jam untuk dilakukan yudicial review. Namun pihak Sema FTK tetap menyatakan aturan yang dipakai adalah Persema No. 1 Tahun 2019.
Kepala Bidang Pengembangan Aparatur Organisasi (PAO) Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Matematika, Ilham Mahendra Halim mengamini perdebatan mengenai aturan dasar yang digunakan. “Di situ kami memperdebatkan pemakaian aturan dasar dari aturan Persema No. 1 tahun 2019 atau Persema No. 1 tahun 2020. Namun pada hari itu kami tidak menemukan keputusan yang konkret. Dilanjutkan yudicial review yang dilakukan pada hari Senin yang dilakukan PAO se-FTk bersama Komisi I Sema tentang keorganisasian,” ungkapnya saat diwawancarai via WhatsApp, Sabtu (29/6/2020).
Rasa kekecewaan dari lima jurusan
tersebut muncul lagi setelah keputusan dari Sema-F pada Rabu yang menerima
Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) dari Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) FTK
yang dinilai banyak kecacatan dan kesalahan. Kecacatan yang dimaksudkan berkaitan
dengan transparansi anggaran, program kerja dan kurangnya dokumentasi dari
beberapa kegiatan. Ilham menyatakan bahwa hal tersebut yang mendasari lima
jurusan memutuskan walk out dari forum Musti.
“Dari pandangan Himatika sendiri, sejatinya ormawa tingkat fakultas itu menjadi wadah aspirasi bagi mahasiswanya yang di sini itu terwakilkan HMJ/HMPS. Namun lima jurusan yang walk out sangat merasakan itu sangat bertolak belakang, dengan bagaimana ormawa tingkat fakultas itu bersikap. Sehingga kami walk out dan menyatakan gelombang penolakan akan proses Musti 2020 yang tidak dilaksanakan secara aspiratif, tidak transparan dan banyaknya kejanggalan,” ujar Ilham.
Anggota PAO Dema-F, Khairul Saleh
juga menyampaikan kejanggalan dari LPJ Dema FTK. Dalam laporan Bendahara Umum,
ia menyebutkan bahwa tidak adanya transparansi yang jelas. “Saya pun akan lebih
percaya jika ada bukti yang terperinci pengeluaran dan pembelian yang memang
ada buktinya. Namanya LPJ-an itu sesuai data dan fakta, ketika program kerjanya
terlaksana dengan tuntas berarti 100%. Tapi ketika tidak tuntas harus
dipresentasikan, sedangkan mempresentasikan kegiatan demi kegiatan tidak sesuai
data, tidak sesuai fakta,” bebernya.
Khairul mengatakan banyak
dokumentasi-dokumentasi kegiatan yang kurang sehingga terlihat kegiatan yang
dilakukan tidak berjalan maksimal. Pihak Dema menurutnya pun tidak aspiratif
menanggapi HMJ/HMPS. “Dan yang paling menonjol memang LPJ-nya seharusnya tidak
diterima, tapi aneh dari senator malah menerima LPJ Dema. Ya logikanya revisian
aja gitu, ketika pengen lulus, ya harus merevisi dulu skripsinya,” tambahnya.
Sekretaris Komisi I Sema-F, Yuran Ramadhan, menyatakan tanggapannya terhadap walk out-nya lima jurusan saat Musti. “Tanggapan saya sebagai presidium dua yang memimpin sidang pada saat itu dan sebagai senat mahasiswa, tentu menyayangkan lima jurusan yang walk out tersebut. Saya rasa tindakan mereka walk out, karena merasa aspirasinya sudah tidak didengarkan lagi,“ ungkapnya saat diwawancarai via WhatsApp.
Tindakan yang diambil oleh pihak Sema-F terhadap lima jurusan yang walk out yaitu melakukan mediasi, menjelaskan keputusan yang diambil selama Musti. Namun lima jurusan tersebut tetap walk out karena sudah terlalu kecewa terhadap keputusan yang diambil Sema-F. Terkait permintaan dari lima jurusan yang walk out, Yuran menjelaskan bahwa lima jurusan tersebut menginginkan adanya perbaikan LPJ dari Dema-FTK.
“Yang saya simpulkan mereka ingin LPJ dari Dema-F itu secara menyeluruh, lengkap, transparan dan secara tuntas, sehingga LPJ-nya dapat mereka terima. Dan juga bukan LPJ saja yang mereka inginkan, yang saya tangkap, mereka ingin Musti itu berjalan secara lancar dan aspiratif.” Tutupnya.
Sejumlah gabungan solidaritas Bandung tengah berdiri menyuarakan pelanggaran HAM dalam acara September Hitam di depan Taman Cikapayang Dago, Bandung, Selasa (1/9/2020)/(Fuad Mutashim/Suaka)
SUAKAONLINE.COM – Sejumlah gabungan solidaritas Bandung mengadakan rangkaian acara dengan judul Menyimak September Hitam di Taman Cikapayang, Bandung, Selasa (1/9/2020). September Hitam ini dipelopori oleh gerakan Aksi Kamisan Bandung. Acara juga ini merupakan bentuk refleksi bagi masyarakat Bandung atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di bulan September.
Salah satu inisiator acara, Feru mengatakan bahwa September Hitam adalah sebuah jalan untuk terus merawat ingatan masyarakat Kota Bandung terutama untuk generasi muda agar lebih peka lagi terhadap isu-isu pelanggaran HAM berat yang kerap terjadi. Menurutnya, pemerintah masih belum mampu dan terbilang abai untuk mengusut dan menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi saat ini.
“Kami
sebagai generasi muda yang tergabung dalam Aksi Kamisan Bandung jengah banget sih,
satu pun pelanggaran HAM engga
ada yang tuntas. Jadi proses konstitusi di negara Indonesia itu bagaimana sih
menanganinya. Padahal HAM itu kunci dalam bernegara. Beberapa kali negara ditekan
kayaknya abai banget sih. Jokowi pada tahun 2014 memasukan dalam salah
satu nawacitanya untuk menuntaskan pelanggaran HAM tapi engga selesai juga kan,” ujarnya, Selasa (1/9/2020)
Acara September Hitam ini akan terus berlangsung untuk beberapa hari ke depan. Khususnya pada tanggal-tanggal terjadinya pelanggaran HAM di bulan September. Seperti tanggal 7 nanti, untuk memperingati kematian salah satu aktivis HAM Munir Said Thalib maka akan digelar diskusi dan screening film tentang rangkaian kematian Munir. Kemudian tanggal 10 akan diadakan Aksi Kamisan di depan Gedung Sate untuk memperingati Tragedi Tanjung Priuk dan juga lainnya.
Feru
juga menyebutkan alasan mengapa
peringatan hanya dikhususkan di bulan September saja. Menurutnya pada bulan September terlalu
banyak pelanggaran HAM berat
yang terjadi. “Karena terlalu
banyaknya pelanggaran HAM di bulan September
makanya kami rangkum dalam September Hitam. Jadi ini
sudah menjadi momentum beberapa tahun belakangan Aksi Kamisan Bandung
melaksanakan September Hitam, dalam artian
untuk mempertemukan orang yang mau belajar dan orang-orang yang terus
memperjuangkan hak-hak korban,” katanya.
Tak
hanya berbentuk seremonial saja untuk memperingati pelanggaran HAM, dalam acara
ini pun terdapat pasar gratis, lapakan buku, cukur gratis, pembacaan puisi, dan
performance art yang diselenggarakan
oleh beberapa kolektif dan solidaritas Bandung. Salah satu pengunjung, Bobby Willi sangat
mengapresiasi dengan baik acara September Hitam ini. Menurutnya ini adalah
momentum untuk terus merawat ingatan dan bersuara atas pelanggaran HAM yang
terjadi dan agar negara segera menyelesaikan
beragam pelanggaran HAM.
Anggota Masyarakat Adat Independen itu menyebutkan bahwa acara September Hitam ini masih awam di mata masyarakat. Menurutnya ada gap pemahaman yang berakibat munculnya sikap apatis dan pasif dari masyarakat, sehingga enggan untuk ikut berpartisipasi dalam mengingat pelanggaran HAM yang terjadi. Kemudian karena masih banyak terjadi pelanggaran HAM di tanah kelahirannya Papua, maka kehadirannya dalam acara September Hitam ini merupakan bentuk kepedulian bersama kawannya agar fokus memperjuangkan HAM bagi masyarakat tertindas.
“Kita adalah korban, korban dari hal apapun, dari eksploitasi sumber daya alam, keluarga pernah dibunuh, mengalami agresi militer dan berbagai macam hal. Jadi ada trauma masa lalu yang menjadi sebuah ingatan yang terus dirawat. Kami harus peduli terhadap kawan-kawan yang lain karena di situ timbul rasa solidaritas untuk sama-sama membangun keselarasan di sini. Jadi kita tidak boleh pasif, kita harus aktif. Saya berharap pemerintah Indonesia harus berani mengungkap pelaku pelanggaran HAM yang terjadi dari kurun waktu 1960-an sampai sekarang.” Tutup Bobby.
SUAKAONLINE.COM – Ibarat rumah tak berpenghuni, sudah
hampir berjalan satu
tahun, kursi kepemimpinan
Dewan Eksekutif Mahasiswa Univesitas (Dema-U) mengalami vacum of powerterhitungsejak bulan Juni.
Begitupun
dengan rekan kerjanya di bidang legislatif, Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U)
yang telah habis masa bakti pada Mei lalu.
Dalam Konstitusi Keluarga
Mahasiswa (KKM) Bab III Pasal 3 ayat (1)
dijelaskan bahwa masa bakti kepengurusan lembaga legislatif mahasiswa ialah
selama satu tahun dihitung sejak pelantikan. Sama halnya dengan kepengurusan
lembaga eksekutif yang diatur dalam KKM Bab IV pasal 6 ayat (6).
Masa
kepemimpinan Sema-U periode 2019/2020 yang dinahkodai oleh Umar Ali Muharom telah
habis dan meninggalkan tugas untuk pembentukan Dema-U periode 2020/2021.
Melansir dari Suakaonline.com, permasalahan yang menghambat dalam proses pembentukan Dema-U salah
satunya mengenai Undang-undang
Sema No. 2 Tahun 2018 tentang Pemilihan Umum Mahasiswa yang menuai perdebatan hingga berujung tuntutan legislative review dari lima Sema-F.
Hingga pada Febuari lalu, Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan, Ahmad Fatonih mendesak agar Sema-U
menggelar forum senat untuk menindaklanjuti legislative review oleh lima Sema-F. Kemudian menyebutkan sukses atau
tidaknya kepengurusan Sema-U periode periode
2019/2020 tergantung pembentukan Dema-U.
Setelah
adanya desakan dari Warek III bidang Kemahasiswaan, sebulan kemudian Sema-U
menggelar forum senat di Aula Student Center yang
dihadiri oleh seluruh jajaran Sema-F di tataran universitas.
Namun akhirnya forum senat tersebut tidak menemukan titik terang dalam
penyelesaian legislative review tersebut
lantaran Umar kembali sulit dihubungi.
“Namun hingga saat ini tidak ada
koordinasi dan komunikasi yang dilakukan oleh Sema-U terkait melakukan Musyawarah Mahasiswa Universitas (Musma-U) atau
Musyawarah Tingkat Tinggi Universitas (Musti-U),”
ujar Ketua Sema-F Syariah dan Hukum, Albin Muhammad Ridwan. Rabu, (3/7)
Kurangnya
Eksistensi Ormawa-U
Berdasarkan hasil riset Suakaonline.com,
mahasiswa UIN SGD Bandung cenderung lebih banyak tahu mengenai
Sema-U dalam definisinya, ketimbang tahu Sema-U berdasarkan keterwakilan
mahasiswa dan kinerjanya. Dari total 300 lebih
responden, hanya 83 persen yang mengaku tahu Sema-U dan 17
persen hanya tahu struktur kepengurusannya saja.
34
persen tahu Umar sebagai ketua dan 23 persen tahu delegasi dari
fakultasnya di Sema-U. Catatan buruk lainnya, hampir setengah dari responden
yang tahu Sema-U, justru tidak paham dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi)
Sema-U. Bahkan hampir seperempatnya juga tidak bisa membedakan antara
Sema-U dan Dema-U.
Penyumbatan
Komunikasi dan Koordinasi
Ketua Dema-F Dakwah dan Komunikasi, Faisal Nailus Sidqi, menilai adanya
kekosongan struktural pada ormawa tingkat universitas berimplikasi pada
efektifitas koordinasi antar Ormawa secara menyeluruh. Ia juga memandang ada pola managerial Ormawa-U yang buruk karena
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai penyambung sekaligus wadah bagi
mahasiswa dalam segala aspek.
Faisal menambahkan secara aspirasi umum pun sangat mengahambat permasalahan
pada skala universitas. Karena secara de juris Ormawa-U adalah lembaga
representatif dan aspiratif bagi mahasiswa. Namun pada faktanya, ketika kedua lembaga tersebut masih aktif, sangat kurang komunikatif dan aspiratif dengan mahasiswa khususnya dengan sektor Ormawa
tingkat fakultas.
“Buktinya
ketika Forum Dema-F UIN SGD Bandung
mengirimkan surat tuntutan mengenai kebijakan selama kuliah daring kepada rektorat, sangat disayangkan rektorat melakukan
penghematan suara dengan cara merekoordinasikan hasil rapim itu kepada dekanat di masing-masing fakultas. Seperti oper bola,” ungkapnya Kamis (2/7).
Sulitnya koordinasi dan komunikasi Sema-U juga terjadi pada jajaran Sema-F.
Ketua Sema-F Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Hilya Gina Abdillah menyatakan
kosongnya Ormawa
intra berdampak besar dalam arus organisasi. Tidak adanya kepala dalam ormawa
menyebabkan banyak badan claiming menjadi kepala
dari Ormawa-F dan membuat arus
menjadi kacau karena tidak ada yang menengahi.
Hilya juga menambahkan bahwa sebenarnya Sema-F sudah berusaha untuk membuka forum dengan Sema-U
tetapi masih sulit.
Kemudian solusinya ialah terus melakukan koordinasi dan berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Walaupun
gerakan yang dilakukan kurang begitu masif dan progresif, karena dilakukan secara online.
Ketua Sema-F Dakwah dan
Komunikasi, Umar Taufiq Ash-shidiqi mengatakan
bahwa minimnya koordinasi antara Sema-U dan Sema-F. Begitupun dengan
kinerjanya, Sema-U lebih banyak berkerja sendiri. Terbukti saat pembentukan
Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan Pengawas Pemilu Mahasiswa
(BawasluM) pun tidak ada koordinasi sama sekali dengan pihaknya.
“Untuk
koordinasi sendiri antara Sema-U
dan Sema-F sangat minim. Sema-U lebih banyak bergerak sendiri dari pada
berkoordinasi dengan Sema-F.
Untuk koordinasi sebelumnya pembentukan KPUM dan BawasluM tidak ada koordinasi dengan Sema-F sama sekali,” keluhnya. Kamis, (11/7).
Gunung
Djati Menggugat
Kekosongan Ormawa-U
menyebabkan runyamnya situasi kampus, kebijakan pembelajaran daring karena
Covid-19 yang menyisakan tanya bagi mahasiswa karena tidak memakai fasilitas kampus
sesuai dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibayar. Seperti tercatat dalam
Permesekdikti No. 5 Tahun 2016 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT), yang
membiayai enam poin diantaranya, Bahan Habis Pakai (BHP) Pembelajaran, BHP
Praktikum, Sarana Pembelajaran, sarana praktikum, gedung kuliah dan gedung
praktikum.
Mahasiswa langsung
berinisiatif membuat gerakan Gunung Djati Menggugat, bermula dari lima
inisiator hingga ribuan massa aksi virtual yang ramai di Twitter membuat tagarnya menjadi tranding topic nomor satu di Indonesia.
“Sebuah keresahan dari
kebijakan kampus yang dirasa tidak berpihak pada mahasiswa. Dan kita mahasiswa
sepakat, UKT pada masa pandemi ini bermasalah,” kata salah seorang inisiator
yang tak ingin disebutkan namanya ketika diwawancarai oleh Suaka, Senin, (13/7).
Survei awal yang dilakukan melalui Google Form memperoleh hasil yang
menguatkan tuntutan, dari 545 mahasiswa yang mengisi, 520 di antaranya tidak
bisa membayar UKT dan 20 orang sanggup membayar UKT. Sedangkan, hasil survei Suaka
pada 14 Juni lalu menunjukkan bahwa delapan dari sepuluh mahasiswa tidak
sanggup bayar UKT. Dalam presentase berdasarkan responden, 85.5% mahasiswa
tidak sanggup untuk membayar UKT, disebabkan oleh ekonomi yang menurun atas
dampak dari pandemi. Sisanya, 14.4% yang
sanggup membayar UKT.
Dosen Ilmu Hukum UIN SGD
Bandung, Dede Kania menjelaskan terkait tuntutan adanya transparasi anggaran.
Adanya tuntutan sudah diatur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Informasi
apapun yang terkait dengan institusi, instansi sebenarnya tidak boleh ditutupi
karna tidak termasuk ke dalam informasi yang dikecualikan, karena kampus adalah
badan layanan publik.
Dede berpendapat bahwa
gerakan mahasiswa di kampus tanpa diwadahi langsung oleh Ormawa-U menjadi hal
yang tidak bermasalah namun tidak akan banyak berpengaruh. “Pendapat mahasiswa
di kampus masih dalam lingkup kebebasan mimbar akademik. Itu sebenarnya sudah
diatur dalam aturan hukum kita, baik dalam konstitusi maupun dalam peraturan
perundang-undangan lainnya,” jawabnya ketika diwawancarai melalui Zoom, Jum’at (3/7).
Revolusi
Sistem
Kemudian Demisioner Ketua Dema-U periode 2018/2019, Oki Reval Julianda, menilai hadirnya Ormawa-U di
tingkat universitas merupakan hal yang vital. Menurutnya kekosongan dalam tubuh
Ormawa-U di UIN SGD Bandung seolah-olah telah menjadi siklus. Ketidaktaatan
mahasiswa terhadap konstitusi yang ada menjadi salah satu penyebabnya.
Mahasiswa jurusan Teknik Informatika ini menambahkan, kurangnya
kesadaran dari mahasiswa sebagai agent of
control membuat mereka abai akan terlaksananya poin-poin dalam KKM UIN SGD Bandung. Padahal jika Sema-U bisa memberi contoh dalam mentaati
konstitusi dengan benar, kekosongan Ormawa-U tidak akan terulang kembali.
Di tengah kekosongan Ormawa-U, Oki mengapresiasi dengan baik mahasiswa UIN
SGD Bandung yang masih bisa berinisiatif membentuk suatu gerakan untuk
menyuarakan aspirasi dan keluhannya selama masa pandemi. Namun
disayangkan, dengan adanya
Dema-U setiap aspirasi akan lebih terkonsep.
“Lebih baik forum sejenis
Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) digelar
kembali. Agar semua elemen terlibat di dalamnya,
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Dema-F, Sema-F, dan Ormawa lainnya melebur menjadi satu dengan
meninggalkan semua bentuk kepentingan golongan untuk merumuskan ulang UU yang
bermasalah,” saran Oki, Kamis (9/7).
Kemudian Suaka
melakukan perbandingan mengenai sistem pembentukan Ormawa-U di kampus lain dengan menghubungi Presiden Mahasiswa (Presma) UIN
Sunan Kalijaga Jogja, Rifaldi
Mustamin. Menurut Rifaldi dalam sistem pemilihan yang ada di UIN Jogja dilakukan
serentak antara jajaran Sema Dema Universitas dan Fakultas. Sema dipilih menggunakan partai kemudian suara partai
diakumulasikan, sedangkan Dema dipilih berdasarkan calon presma dan calon wakil
presma.
“Mahasiswa UIN SGD
Bandung harus coba mengganti sistem pembentukan badan legislatif dan eksekutif
dari musyawarah menjadi pemilihan umum. Karena dengan sistem pemilihan umum,
pembentukan Ormawa akan lebih terjadwal dan jelas, sehingga tidak akan lagi
menyebabkan kekosongan kepemimpinan Ormawa-U,” jelas Rifaldi kepada Suaka melalui daring. Kamis, (16/7).
Tindak Lanjut Regenerasi Ormawa-U
Warek III Bidang Kemahasiswaan, Ahmad Fatonih mengeluarkan surat No.
B-152/UN.05/1.2/PP.00.9/07/2020 mengenai permohonan perwakilan mahasiswa yang ditujukan kepada Wakil Dekan (Wadek) III setiap
Fakultas untuk mengirimkan dua perwakilan mahasiswa sebagai Panitia Ad Hocyang nantinya akan dilibatkan
dalam pembentukan Sema-U periode 2020/2021.
Kepala Bagian
Kemahasiswaan, Wawan Gunawan pun
mengamini adanya surat yang dikeluarkan Warek III. Awalnya berupa konsolidasi
antar Sema-F dengan Warek III tapi tidak membuahkan hasil, akhirnya memilih
melayangkan surat permohonan langsung kepada Wadek setiap fakultas. Menurutnya
surat tersebut adalah bentuk inisiatif pihak birokrasi dalam memproses tindak
lanjut regenerasi kepemimpinan Ormawa-U.
“Karena kami tidak
menginginkan adanya kekosongan terlalu lama makannya sekarang sedang merekrut
perwakilan dua orang untuk dijadikan Panitia Ad Hoc dalam pembentukan Ormawa,”
ujarnya saat ditemui Suaka di ruangannya, Senin (20/7).
Nantinya Panitia Ad Hocakan dibuatkan SK Rektor untuk
menjalankan tugasnya dalam membentuk Sema-U dengan mengacu kepada SK Dirjen
Tahun 2016 dan KKM. Menurut Wawan hadirnya Ormawa-U sangat penting dalam
membantu birokrasi, terutama agenda besar Pengenalan Budaya Akademik Kampus
(PBAK).
Untuk
lebih jelas soal tanggapan menganai kekosongan Ormawa-U, Suaka mencoba
beberapa kali menghubungi Warek III, Ahmad Fatonih namun tidak ada jawaban.
Hingga mencoba menyambangi langsung ke ruangannya pun tetap tidak bisa ditemui
Pembentukan Sema-U telah
melewati tahap sosialisasi pada Selasa, (18/8) dan Panitia Ad Hoc sedang
merancang struktur kepanitiaan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan
Pengawas Pemilihan Umum Mahasiswa (BawasluM). [Kru liput: Evi Fitaulifia,
Salsabyla Farihati, Refkyan Mauldan,
Auliya Umayna, Faiq Rusydi]
SUAKAONLINE.COM, Infografis – Pada 6 April 2020, lewat surat edaran yang dikeluarkan Kemenag RI melalui Dirjen Pendis dengan Nomor: B-752/DJ.I/HM.00/04/2020 mengintruksikan kepada setiap rektor PTKIN Se-Indonesia untuk melakukan pengurangan UKT sebesar 10% atas dampak dari pandemi Covid-19.
Namun, pengurangan itu dibatalkan dengan terbitnya surat edaran Kemenag
melalui Dirjen Pendis Nomor: B-802/DJ.I/PP.00.9/04/2020 pada tanggal 20 April
2020. Surat tersebut berisikan tentang pemotongan anggaran terhadap Program
Pendidikan Islam Kementrian Agama sebesar Rp 2.020.000.000.000 (dua triliun dua puluh miliar rupiah). Selain itu, juga
pencabutan surat Plt. Dirjen Nomor: B-752/DJ.I/HM.00/04.2020 tentang pemotongan
UKT.
Atas pembatalan
pengurangan UKT tersebut, mahasiswa PTKIN se-Indonesia merasa kecewa tidak terkecuali mahasiswa UIN Bandung.
Dengan dilandasi kekecewaan dan keresahan dari gagalnya pengurangan
tersebut dan juga keresehan dari kebijakan kampus munculah gerakan Gunung Dajti
Menggugat.
“Latar belakang terbentuknya Gunung Djati Menggugat adalah sebuah
keresahan dari kebijakan kampus yang dirasa memang hasil dari analisis
kawan-kawan yang kemudian tergabung di Gunung Djati Menggugat nantinya itu
tidak berpihak pada mahasiswa. Juga bentuk keresahan juga untuk organisasi atau
BEM yang tidak bisa membawa permasalahan ini secara kongkrit, arahnya mau
kemana,” Jelas Ujang (nama samaran) ketika diwawancarai, Senin (13 /7/2020).
Ujang juga
menjelaskan karena ketidak mungkinan melakukan aksi pada masa pandemi maka
mereka melakukan aksi virtual dimedia sosial twitter dengan tagar #GunungDjatiMenggugat
dan menjadi trending pada Kamis(11/6/2020).
Berselang sehari,
muncul surat KMA Nomor 515 tahun 2020 tentang keringanan UKT yang berupa
pengurangan UKT atau perpanjangan waktu pembayaran. Namun keringanan tersebut
bukanlah tanpa syarat. Jika mahasiswa mengiginkan keringanan tersebut, mahasiswa
harus mempunyai bukti atau keterangan yang sah terkait status orang tua atau
walinya. Status yang dimaksud yaitu apabila orang tua/wali meninggal dunia, mengalami
pemutusan hubungan kerja (PHK), mengalami kerugian usaha dan dinyatakan
pailit, mengalami
penutupan usaha, atau menurun pendapatannya secara signifikan.
Dirasa masih
belum cukup setelah aksi Virtual dan juga dengan belum adanya kebijakan kampus
terkait UKT, maka Senin (22/6/2020) sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam
gerakan Gunung Djati Menggugat menggelar aksi di depan gedung Al-jami’ah
dilanjutkan di depan gedung Rektorat.
Akhirnya pada
Senin (22/6/2020) pihak kampus membeikan surat edaran dengan nomor 453/Un.05/II.3/KU.01.1/6/2020
tentang pedoman keringanan pembayaran UKT. Namun menurut Ujang hal itu tidak
memuaskan karena dengan persyaratan yang berbelit. “Kalau berbicara soal itu bagi saya sangat ribet, karena kalau
berbicara siapa yang terdampak, bagi saya semua terdampak pada masa pandemik
ini.”
Walaupun dengan
adanya kebijakan kampus terkait keringanan pembayaran UKT, mahasiswa yang
tergabung dalam gerakan Gunung Djati Menggugat masih merasa
tidak puas karena masih jauhnya dari apa yang telah tercantum dalam tuntutan.
Maka dari itu pihak Gunung Djati Menggugat masih memantau sejauh mana pihak
kampus memenuhi tuntutan, dan apabila tidak ada maka akan ada tindakan lebih
lanjut.
SUAKAONLINE.COM, Infografis – Semenjak bertransformasi dari Senat Mahasiswa Institute menjadi Dewan Mahasiswa (DEMA) pada April 1999, kekuasaan lembaga eksekutif tingkat universitas sudah menjadi langganan kekosongan kepemimpinan. Seperti halnya sekarang, pasca Oki Reval Julianda lengser kursi kepemimpinan DEMA-U mengalami kekosongan hampir berjalan dua tahun.
Setelah beberapa kali mengalami pergantian,
gonjang-ganjing di kursi kepemimpinan DEMA-U selalu saja terjadi. Tahun 2004
Presiden Mahasiswa terpilih, Dian Nugraha Rahman, harus rela ‘melepas baju’
presiden mahasiswanya setelah Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) pada
bulan Februari 2005 melakukan Sidang Istimewa (SI). Dian dianggap telah
melanggar konstitusi dengan tidak menjalankan Anggran Rumah Tangga (ART) pasal
1ayat 1 dan 2 serta tidak menjalankan Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO).
Kisruh pun pernah terjadi pada 23-24 Novermber 2006
disaat perombakan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Forum Demokrasi
Kampus (FDK) yang menuntut agar Musema dibubarkan dan menginginkan digelarnya
Pemilu Raya, bentrok dengan puluhan mahasiswa pro-Musema.
Kemudian, kejadian unik pun terjadi di jalan
regenerasi DEMA-U. Pada tahun 2006 sistem pemilihan yang dipakai yaitu sistem
pemilihan melaui partai. Ada tiga partai kala itu, Partai Intelektual Society (PIS), Partai Kampus Merdeka
(PKM), dan Partai Nurani. Aceng Komarudin berhasil mengamankan kursi DEMA-U
kala itu, ia terpilih melalui partai pengusungnya yakni Partai Nurani.
Bak kerikil tajam di tengah jalan, permasalahan dalam
regenerasi DEMA-U selalu bermuara pada peraturan atau landasan hukum yang akan
dipakai. Sebagai contoh, Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) pada tahun 2011
menyisakan pembahasan peralihan sistem pemerintahan mahasiswa dari Pedoman
Organisasian Kemahasiswaan (POK) ke Student
Government (SG). Akibatnya Ketua DEMA-U
kala itu, Jatnika Sadili (2010-2011) lengser tanpa pengganti .
DEMA-U hadir kembali pada bulan Juli 2013 dengan
Fakhru Roji Ishak sebagai Ketuanya. Ia terpilih melalui Musema setelah dua
tahun DEMA-U vacum. Kepemerintahannya
dilanjutkan oleh Syarif Saepullah yang terpilih pada 7 Agustus 2014 dengan
mengusung Kabinet Berbudaya. Namun hingga keduanya lengser peralihan sistem tak
kunjung menemukan titik pasti.
Saat ini, UIN SGD Bandung tengah mengalami masa
kekosongan kepemimpinan DEMA-U. Yang menjadi penghambat dalam proses pembentukan DEMA-U yang baru ialah
Undang-Undang Senat Mahasiswa- Universitas (UU SEMA-U) NO.
2 Tahun 2018 tentang Pemilihan Umum (pemilu) Mahasiswa. Undang-undang tersebut
dianggap bermasalah sampai akhirnya menuai protes yang berujung tuntutan legislative review dari lima SEMA-F.
Belum lagi diperumit dengan Kepengurusan SEMA-U 2019-2020 yang dinahkodai
Umar Ali Muharom menghilang tanpa kabar dengan meninggalkan PR pembentukan DEMA-U.
Kurangnya koordinasi dan komunikasi antara pihak SEMA-U dan SEMA-F disinyalir
menjadi salah satu penyebabnya juga.
Dalam upaya memecahkan masalah ini,
Warek III Bidang Kemahasiswaan, Ahmad Fatonih mengeluarkan surat permohonan
yang ditujukan kepada tiap Wadek III Fakultas. Kabag Kemahasiswaan, Wawan
Gunawan, mengamini adanya surat yang dikeluarkan Warek III. Yang menurutnya
surat tersebut adalah bentuk inisiatif pihak birokrasi dalam memproses tindak
lanjut regenerasi kepemimpinan Ormawa-U.
Dengan
adanya surat tersebut akan dibentuk Panitia Adhoc
guna membentuk kepengurusan SEMA-U yang baru. Rencana untuk kedepannya Panitia Adhoc akan dibuatkan SK Rektor untuk
menjalankan tugasnya dalam membentuk SEMA-U dengan mengacu kepada SK Dirjen
Tahun 2016 dan KKM. Untuk masalah teknis panitia akan bekerja sama dengan
jajaran SEMA-F. Wawan mengatakan
pembentukan DEMA-U nantinya akan tergantung pada kepengurusan SEMA-U terpilih.
SUAKAONLINE.COM – Kita hampir terbiasa
menemui di persimpangan jalan, segerombolan laki-laki yang terus memoncongkan
mulutnya, mengeluarkan suara seperti peluit yang nyaring ke arah perempuan saat
berjalan sendirian. Hari ini kita menyebutnya dengan istilah “catcalling”.
Hal seperti itu seolah dianggap normal oleh
masyarakat, bentuk pujian karena perempuan tersebut dianggap cantik dan pantas
digoda. Padahal, Catcalling adalah intimidasi dan
kadang punya maksud dan tujuan tertentu.
Maret 2020, Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan
Catatan Tahunan (CATAHU) 2020.
Catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara,
lembaga layanan, maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang
tahun 2019.
Beragam
spektrum dan bentuk kekerasan terekam dalam CATAHU 2020 dan temuan khusus
merepresentasikan bahwa dalam 12 tahun terakhir di Indonesia, kekerasan
terhadap perempuan meningkat delapankali
lipat.
Peningkatan
kasus cyber pun terjadi yang
berbentuk ancaman serta intimidasi penyebaran foto dan video porno korban. Kekerasan terhadap anak
perempuan meningkat 65%, dan kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas
dibandingkan tahun lalu naik sebanyak 47%, dengan korban terbanyak adalah
disabilitas intelektual.
Semakin jelas bahwa
kekerasan seksual itu endemis di Indonesia. Statistik dalam CATAHU menyebutkan setiap dua jam, tiga perempuan menjadi korban kekerasan
seksual di Indonesia. Dan angka tersebut masih merupakan fenomena gunung
es, yang dapat diartikan dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan
Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.
Rape Culture sebagai Budaya
Istilah rape culture ditemukan dan diperkenalkan
tahun 1970-an pada studi
Amerika Serikat. Di Indonesia, istilah rape culture bukanlah
istilah yang terlalu familiar. Sebelum salah
sangka, rape culture bukan
berarti budaya memperkosa. Oxford
Dictionaries mendefinisikan rape culture sebagai
istilah yang digunakan untuk menggambarkan masyarakat ataupun lingkungan yang
terkesan menyepelekan tindak pelecehan seksual.
Lebih lanjut, Suaka
menggali informasi dari Ketua Sub-Komisi Pendidikan Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah yang
menjelaskan bahwa rape culture bukan
hanya persoalan perkosaan saja, tapi sebuah budaya yang menjadikan perkosaan
dan juga kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal, wajar terjadi dan
ditoleransi di media atau masyarakat.
“Budaya yang memahami
bahwa perempuan itu penggoda, lebih rendah, dinilai dari tubuh atau kecantikan.
Kemudian didorong oleh penggunaan-penggunaan bahasa yang misoginis yang membuat perempuan tidak nyaman,” jelasnya,
saat diwawancarai via telepon, Minggu, (19/7).
Lantas, mengapa hal ini
kita sebut sebuah budaya? Sebuah tindakan ketika sudah membudaya, artinya sudah jauh
lebih mendalam. Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN SGD Bandung, yang
juga merupakan aktivis gender, Neng Hannah, memandang ini berasal dari
kurangnya sebuah kesadaran tentang kemanusiaan perempuan.
Dimulai dari tingkat
yang terendah adalah mengatakan bahwa laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek yang seringkali
ditempatkan seperti barang, sebagaimana di zaman jahiliyah. Perempuan diwariskan
atau dijadikan sebagai pelunas hutang.
Sementara kesadaran
level menengah, perempuan itu dianggap manusia, tapi harus sesuai dengan
konstruksi dan konsepsi. Bahwa ada sebuah standar yang dibangun dan diatur termasuk
dalam hal tubuh. Terakhir level dimana kesadaran yang sudah menganggap manusia
itu baik laki-laki dan perempuan setara. Karena yang menentukan perempuan itu manusia adalah Allah,
bukan laki-laki.
Stigma Perempuan adalah
Kelas Kedua Masih Lekat
“Menganggap bahwa
perempuan itu objek. Dari kesadaran ini nantinya akan masuk ke dalam
pola pikir seperti menyalahkan perempuan,” ungkap Pembina WSC tersebut melaui Zoom, Senin (6/7).
Sebuah kultur yang memposisikan laki-laki lebih unggul dibanding
perempuan. Laki-laki sebagai pengambil keputusan dan laki-laki yang memimpin. Diposisikan
sebagai penanggung jawab dalam urusan mencari nafkah, lebih banyak berkiprah di
ranah publik yang memungkinkan untuk mengembangkan diri dan beraktivitas di
luar. Sebaliknya, perempuan hanya diposisikan di ranah domestik, tugas-tugas
reproduksi, pengasuhan dan pendidikan anak, mengurus rumah tangga, dan melayani
suami.
Selalu ada relasi kuasa
buah dari ideologi patriarki. Bagian dimana masyarakat yang melanggengkan
perempuan itu sebagai kelas kedua, dianggap inferior,
lemah, harus patuh dan diam.
Fokus Keahlian Psikologi
Keluarga dan Human Sexuality UIN SGD
Bandung, Nani Nuranisah Djamal, turut mengatakan bahwa adanya keyakinan agama
tentang peran laki-laki
sebagai pemimpin wanita seringkali dijadikan alasan
yang kuat.
Pemahaman yang salah
terhadap ajaran agama membuat praktik dominasi laki-laki disalahgunakan.
Sementara konteksyang terjadi di
lapangan, tidak semua laki-laki bisa memainkan perannya sebagai pelindung,
pengayom apalagi pemimpin.
“Generalisasi dan
pemahaman yang dangkal terhadap makna laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan
inilah yang dijadikan pegangan untuk menguasai bahkan mengeksploitasi
perempuan,” ujar Wakil Dekan I Psikologi tersebut melalui WhatsApp, Sabtu (18/7).
Tendensi Menyalahkan Korban
Untuk mengenali budaya rape culture di lingkungan, bisa dilihat
dari bagaimana seseorang mempunyai perspektif mengenai perempuan. Apakah
perempuan ditempatkan sebagai subjek atau objek. Hanya dianggap sebagai makhluk
seksual saja, atau makhluk intelektual dan spiritual selayaknya manusia.
Menurut Koordinator Divisi Programme Samahita, An Nisaa Yoyani,
salah satu komunitas yang konsen terhadap isu-isu feminisme dan gender memberikan
contoh terhadap kejadian yang sempat viral
di Twitter, dimana karyawan Starbucks
dengan sengaja mengintip payudara pelanggan melalui CCTV dan membagikan potongan
video berdurasi 15 detik tersebut. Dari kolom komentar, dapat dilihat masih
banyak yang menyalahkan korban dengan menyalahkan pakaian.
“Kenapa malah menyalahkan korban dan bukannya berpikir, padahal korban
juga manusia dan dia juga patut untuk dihargai. Bounderis-nya
kan disana sebetulnya,” ujarnya saat diwawancarai via Zoom, Sabtu, (4/7).
Contoh lainnya seperti mitos-mitos mengenai pakaian terbuka atau
tubuh perempuan. Tubuh perempuan disamakan dengan permen, ikan asin, atau
lainnya yang dengan jelas menunjukan pola pikir bahwa perempuan itu objek. Tak hanya itu, masyarakat yang terbilang
memiliki masalah dengan rape culture memiliki
tendensi untuk malah menyalahkan korban atau victim blaming.
Seringkali terjadi stigma negatif terhadap perempuan
sebagai korban sekali pun. Seperti melontarkan pertanyaan pakaian seperti apa
yang dikenakan ketika diperkosa atau dilecehkan. Beberapa dari cara yang umum
malah menyalahkan korban ketimbang menuntut pelaku untuk membuktikan dia memang
benar tidak bersalah.
Melansir dari magdalene.co, pendamping penyintas kekerasan seksual di Indonesia terbiasa
mendengar polisi, jaksa penuntut atau hakim bertanya hal-hal seperti itu pada
korban. Beberapa tahun lalu, seorang perempuan yang menghadapi serangan seksual
dari empat pegawai Trans Jakarta di sebuah halte secara nyata dilecehkan oleh Majelis Hakim, yang bertanya warna pakaian
dalam. Pelaku hanya dihukum 18 bulan penjara, sementara korban harus mengalami trauma fisik
dan psikologis sepanjang hidupnya.
Contoh lain, seorang kandidat Hakim Agung yang mengepalai
Pengadilan Tinggi, ketika ditanya pendapatnya soal hukuman mati untuk para
pemerkosa dalam uji integritas, mengatakan “Baik pemerkosa dan korban
menikmatinya. Jadi kita harus mempertimbangkan kembali hukuman mati itu.”
Rentetan panjang kasus
kekerasan seksual yang terjadi membuktikan bahwa ruang aman bagi perempuan
masih bayang-bayang. Ada kekuatan
yang turut melanggengkan budaya pemerkosaan, yaitu tindakan dari pemerintah
atau aktor-aktor formal yang notabene
nya terpelajar. Orang-orang yang memiliki kewenangan dalam kebijakan serta
sistem hukum tidak pernah ramah terhadap korban pelecehan seksual.
Media
sebagai Perpanjangan Tangan Rape Culture
Dalam kasus kekerasan seksual, media
berperan ganda yaitu sebagai pemberi informasi bagi masyarakat dan sebagai
sarana edukasi dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Media juga bisa digunakan sebagai tempat
penyintas agar suara mereka dapat didengar.
Namun, seringkali pemberitaan dalam
media dan penggambaran kasus yang terjadi malah menimbulkan kontroversi dengan headline cenderung menyoroti korban.
Berkaitan dengan hal itu, Neng Hannah kembali mengatakan bahwa selain ada
aktor-aktor terlihat yang turut membentuk budaya ini, juga ada kekuatan yang
tidak formal, tidak terlihat tetapi cukup mempengaruhi, yakni media.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh
Yona, meski bukan faktor utama pembentuk rape
culture, tetapi media ikut mengafirmasi budaya ini. “Itu kemudian membentuk
pola pikir masyarakat bahwa pelecehan seksual menjadi hal biasa. Alih-alih mengedukasi masyarakat dan
kritis sebagai pusat informasi, media turut mereproduksi wacananya yang tetap
memojokan perempuan.
Peran Kampus
dalam Penanggulangan Kasus Pelecehan Seksual
Berbagai bentuk pelecehan
seksual di lingkungan kampus, sekecil apapun itu, dapat terjadi dalam berbagai
macam relasi kuasa. Hierarki dan sistem birokrasi dalam dunia akademik
menciptakan kebijakan yang bisa dimanipulasi, sehingga rentan dipakai untuk hal-hal
negatif, termasuk kesempatan melecehkan dan melakukan kekerasan seksual.
Alimatul Qibtiyah
menanggapi, bahwa kampus harus mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP)
yang jelas tentang pencegahan dan penanganan, bagaimana data-data kasus
diaudensikan kepada pimpinan meskipun memang implementasi itu butuh upaya dan jihad yang terus-menerus.
“Mahasiswa bisa mengawal
bagaimana kampus mengimplementasikan SK Dirjen di kampus, perlu bermain strategi. Kita perlu
bicarakan pada yang berwenang, meskipun advokasi media itu penting, kita
gunakan dulu advokasi pada pembuat kebijakan yang ada.” pungkasnya.
Menyoal penanganan kasus pelecehan seksual di kampus,
terkhusus kampus Islam,
diterbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam oleh Kemenag. Pedoman ini ditetapkan pada 1
Oktober 2019 oleh Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin dan disebarkan ke
seluruh Rektor kampus Islam, baik negeri maupun swasta.
Pedoman setebal 33 halaman tersebut mengatur mulai dari
prosedur pencegahan kekerasan seksual, pengadaan ruang atau fasilitas untuk
melayani pengaduan korban kekerasan seksual, hingga pelayanan pemulihan untuk
korban. Secara resminya, diterbitkan melalui Surat Keputusan Dirjen Pendidikan
Islam No. 5494 tahun 2019. [Kru Liput: Abu Riki, Diyanah Nisa,
Nur Alfiyah].
SUAKAONLINE.COM, Infografis – Dewasa ini, seringkali terdengar di kehidupan sehari-hari pernyataan seperti ‘pakai rok yang panjang, ya’; ‘pake kerudung dong kalo ga mau digodain, mah’; ‘ya namanya juga cowok, maklumin’ atau ‘cupu lo, ga ikut-ikutan godain cewe’; ‘lemes banget lo, kaya banci aja’; dsb. Pernyataan semacam ini lumrah dilontarkan dalam bentuk candaan atau obrolan biasa. Namun, secara tidak disadari, candaan diatas membentuk rape culture.
Rape culture adalah istilah yang diciptakan pada tahun 1970-an yang dirancang
untuk menunjukkan cara masyarakat menyalahkan korban kekerasan seksual dan
menormalkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki. Dan dianggap normal
bahwa lelaki penuh nafsu, dan perempuan lah yang memancing
nafsu lelaki.
Disisi lain, pemakluman bahwa laki-laki adalah makhluk yang lebih
agresif sehingga tidak bisa mengontrol hawa nafsu, dan perempuan adalah makhluk
yang lemah dan pasif, menjadikan laki-laki dianggap tidak “jantan” ketika
berbudi luhur menolak menyentuh perempuan. Pun pelecehan seksual kepada lelaki
diabaikan, dianggap tidak mungkin dan tidak akan pernah ada. Anggapan ini yang
mengembangkan maskulinitas rapuh (toxic masculinity) bagi pria sehingga
lebih lanjut menjadikan mereka korban
dari budaya perkosaan,
Hal ini turut disampaikan oleh Neng Hannah,
Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN SGD Bandung, yang juga merupakan
pembina WSC sekaligus aktivis gender, menurutnya meski kebanyakan perempuan
yang menjadi korban, bukan berarti tidak ada laki-laki yang menjadi korban
kekerasan atau pelecehan. Tetapi, adanya
stigma
membuat laki-laki tidak berani melapor karena
takut akan mendapat cemoohan terhadap statusnya sebagai laki-laki.
“Seperti “laki-laki
gak boleh cengeng dong, masa lapor jadi korban kekerasan, masa lapor jadi
korban pelecehan” Padahal itu terjadi. Kenapa sekarang korbannya kebanyakan perempuan? Ya karena
yang lapor itu perempuan. Kesannya
laki-laki tidak mungkin menjadi korban,
padahal realitasnya
laki-laki juga banyak yang menjadi korban. Dari sini kita bisa lihat bahwa
budaya patriarki
tidak hanya menindas kaum perempuan,
tetapi juga menindas kaum laki-laki,
laki-laki dicitrakan harus selalu berani, rasional, selalu aktif 24 jam, kuat, gagah, dan sebagainya padahal dia juga sama manusia,” ujarnya saat diwawancarai via Zoom, Senin, (6/7/2020).
Stigma semacam ini menyebabkan korban pelecehan seksual lelaki merasa rendah karena
dianggap ‘nggak laki’ ketika mengaku dilecehkan oleh individu lain.
Maskulinitas rapuh juga sering kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum wanita yang
tidak bertanggung jawab untuk pura-pura menjadi korban dan berlindung
di-‘kelemahan’-nya.
Contohnya terdapat pada kasus kekerasan antara Amber Heard dan
Johnny Depp, dimana dalam salah satu rekaman, Heard mencibir Depp, “tell the
world Johnny, tell them… I Johnny Depp, a man, I’m a victim too of domestic
violence… and see how many people believe or side with you.” (beri tahu dunia
Johnny, beri tahu mereka … Saya Johnny Depp, seorang lelaki, saya juga korban
kekerasan dalam rumah tangga … dan lihat berapa banyak orang yang percaya
atau memihak Anda.”)
Pernyataan Heard selanjutnya(‘You’re bigger and you’re
stronger… I was a 115lb woman…)juga menginisiasi bahwa
seorang yang lebih besar dan ‘maskulin’ pasti merupakan ‘pelaku’ dari suatu
kejahatan dan tidak mungkin sebaliknya, yang faktanya, semua orang bisa menjadi
korban, bahkan seorang lelaki berotot sekalipun.
Hal ini mebuktikan, bahwa budaya perkosaan tidak hanya merugikan
perempuan aja, akan tetapi seluruh gender yang ada dengan terbentuknya pseudo
standar untuk ‘korban’ maupun ‘pelaku’. Dan juga Rape culture membuat
korban tidak berani untuk mengungkapkan pelecehan yang telah ia alami, karena pada
akhirnya, lingkungan hanya menyalahkan dirinya atas perlakuan yang dilakukan oleh
individu lain.
Karena selama ini, kerap kali korban pelecehan seksual sering dihubungkan dengan pakaian apa yang dipakai, jam berapa pulang, apakah sendirian, dimanakah berada dan lain sebagainya yang cenderung memojokkan, serta apakah kamu perempuan atau apakah kamu lelaki.
Sejumlah umat Hindu tengah mendengarkan dharmawacana (khotbah) dari Pemangku di Pura Sweta Maha Suci, Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Rabu (16/9/2020).(Faiq Rusydi/Suaka)
SUAKAONLINE.COM – Sejumlah umat Hindu berkumpul untuk melaksanakan upacara Hari Raya Galungan di Pura Sweta Maha Suci, Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan pada Rabu (16/9/2020). Dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, upacara tersebut rutin dilakukan setiap tujuh bulan atau 210 hari sekali. Upacara ini diartikan sebagai pemaknaan atas kemenangan kebaikan (dharma) melawan keburukan (adharma).
Menurut Pemangku Pura Sweta Maha Suci, Tadi mengatakan bahwa kata Galungan sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang berarti pertarungan atau pergulatan, yakni pertarungan dharma melawan adharma atau kebaikan melawan keburukan. Hal ini diperingati karena sifat kebaikan dan keburukan selalu berlomba-lomba untuk menguasai diri, sehingga umat Hindu selalu berusaha berbuat baik agar sifat keburukan, sifat tidak baik, sifat kebutaan atau sifat setan tidak menguasai diri manusia.
Lebih lanjut, Tadi menjelaskan dalam diri manusia itu ada dua sifat, dipengaruhi sifat kedewatan dan sifat kebutaan. “Dalam diri manusia itu ada dua sifat, yaitu dipengaruhi sifat kedewatan dan sifat kebutaan. Dengan menangkan dharma, maka tidak gampang dikuasai oleh sifat kejelekan, sehingga bisa lebih tenang dan lebih jernih dalam berfikir. Karena dharma jalan untuk menuju surga,” ujarnya, Rabu (16/9/2020).
Upacara ini tidak hanya dihadiri oleh umat Hindu dari Kabupaten Lamongan saja, umat Hindu yang berasal dari daerah lain seperti Kabupaten Gresik dan Kabupaten Bojonegoro juga turut menghadiri upacara tersebut. Upacara ini juga diikuti oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Persiapan upacara sudah dilakukan sejak pagi hari dimulai dengan menyiapkan sarana ibadah seperti sarana banten atau sajen, air dan dupa. Kemudian acara dimulai dengan dharmawacana dilanjut ibadah, dilaksanakan dari jam tiga sore sampai petang atau setelah magrib. Kekhusyukan umat Hindu dalam melaksanakan upacara Hari Raya Galungan tidak terganggu dengan aktivitas azan magrib dari masjid yang bersandingan dengan pura.
Tadi juga mengatakan saat pelaksanaan ibadah Galungan ini, umat-umat beragama di sekitar Pura Sweta Maha Suci saling menghormati dan saling toleransi. Ketika waktu menunjukan untuk azan magrib, biasanya sebelum pelaksanaan azan itu ada pembacaan ayat Al-Qur’an (Qira’ah) terlebih dahulu. Namun karena menghargai agama lain yang sedang beribadah, kegiatan Qira’ah tersebut ditiadakan sehingga langsung mengumandangkan azan magrib.
Dengan adanya sikap tersebut, Tadi pun menambahkan bahwa Desa Balun lebih dikenal dengan julukan Desa Pancasila. Dimana umat beragama tersebut hidup saling berdampingan dengan damai dan tentram. Bahkan ketika ada peringatan hari raya besar keagamaan, umat agama lain turut berkontribusi dalam alur keamanan acara.
“Kalau Galungan ini tidak diperlu dijaga oleh umat agama lain, itu hanya terjadi ketika Hari Raya Nyepi, pemuda masjid dan pemuda gereja turut membantu menjaga keamanan dan kenyamanan. Begitu juga sebaliknya, kalau umat Kristen dengan Hari Raya Paskah dan umat Islam dengan Hari Raya Idul Fitri, pemuda pura yang turut membantu,” tambah Tadi.
Salah seorang pengunjung pura, Kelvin juga memaknai Hari Raya Galungan sebagai kemenangan kebaikan atas keburukan. “Pelajaran rohani mengenai ketenangan pikiran dan ketenangan lahir batin. Karena pada dasarnya manusia yang tenang lahir batinnya adalah manusia yang benar-benar berhasil melawan adharma dalam diri. Tapi setiap orang termasuk Saya sendiri tidak tahu apakah kita sudah menang melawan adharma atau belum.” Tutupnya, Kamis (17/9/2020).
SUAKAONLINE.COM – Dengan mengangkat tulisan berjudul “Jalur Rempah Nusantara: Surga yang Tak Dirindukan”, seorang mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung berhasil meraih Juara II Lomba Esai pada lomba Call For Essay 2020 yang diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Portugal. Perlombaan tersebut turut bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Lisabon, PPI Spanyol, PPI Prancis dan PPI se-Dunia Kawasan Amerika – Eropa.
Mahasiswa tingkat akhir tersebut, Jalaludin, menjelaskan bahwa lomba Call For Essay dengan tajuk “Mengurai Sejarah, Merangkai Asa” itu diselenggarakan pada 12 – 17 Agustus yang tenggatnya berbarengan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia. Perlombaan ini adalah bentuk follow up dari program sebelumnya, yakni Online Summer School Programme PPI Portugal yang dilaksanakan pada 28 Juli – 11 Agustus 2020.
Oleh karena itu, tema yang di usung pun masih sama, seperti mengupas sejarah terkhusus yang berkaitan antara hubungan bilateral Portugal dan Indonesia. “Jadi saya waktu itu sedikit banyaknya bicara tentang bagaimana sejarah Indonesia yang dulunya dikenal dengan surga rempah, sampai akhirnya rempah jatuh dan Indonesia tidak lagi dianggap sebagai surga,” papar Jalaludin, Jum’at (18/9/2020).
Dengan jangka waktu lomba yang cukup singkat, yakni lima hari, Jalal mengakui bahwa dirinya lebih banyak menghabiskan persiapan dalam hal menemukan inspirasi, kerangka pembahasan dan mencari sumber literatur. “Untuk penulisannya sendiri sebenarnya h-1, jadi lamanya itu saat nyari literatur dan ide. Setelah cari-cari terus referensi di Google Scholar dan Science Direct. Kemudian saya kumpulkan. Saya tulis sambil lihat referensi. Saya bikin kerangka tulis dan alur tulisnya mau dibuat seperti apa dan dicocokan dengan referensi,” ujarnya.
Dengan diraihnya juara kedua untuk lomba ini, sebagai salah satu reward, Jalal berkesempatan mendapat undangan resmi untuk datang sebagai peserta pada Simposium Amerika – Eropa Liberia di Timbra Portugal, yang direncanakan akan diselenggarakan pada tahun 2021 mendatang. Adapun untuk juara satunya merupakan mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Acara simposium yang akan digelar tersebut merupakan agenda tahunan PPI Dunia khususnya kawasan Amerika-Eropa, dimana dihadirkan dalam bentuk presentasi, diskusi dan penuangan ide-ide serta gagasan yang bisa diberikan untuk Indonesia juga dunia secara umumnya. “Jadi lebih ke kita memikirkan kemaslahatan untuk peradaban. Menariknya kalau menurut saya, kita jadi punya kesempatan berkompetisi dengan teman-teman peserta yang lain dan itu cakupannya nasional. Jadi merasa tertantang aja gitu,” ungkapnya.
Ketua Jurusan Biologi, Anna Widiana, turut berbahagia dan mengucap bangga atas prestasi yang diraih salah satu mahasiswanya tersebut. Jalal menjadi pionir dan memberikan inspirasi untuk teman-teman mahasiswa yang lain. Anna juga mengakui, Jalal berhak mendapatkan reward tersebut karena selain memiliki indeks prestasi akademik yang bagus, Jalal merupakan Ketua Keluarga Mahasiswa Himpunan Biologi yang juga Hafidz Qur’an.
“Prestasi yang mahasiswa kami buat sangat berdampak positif terhadap jurusan. Saya berharap ke depannya akan ada mahasiswa-mahasiswa lain yang bisa mengikuti jejak Jalal. Untuk kami, bukan reward dulu yang jadi tujuan, tapi bagaimana mahasiswa kami dapat berkiprah di tingkat lokal maupun nasional, pun memberikan pengalaman tak terhingga untuk mahasiswa kami.” Pungkas Anna, Minggu (20/9/2020).
Reporter: Siti Hanna Alaydrus Redaktur: Hasna Fajriah
SUAKAONLINE.COM – Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN SGD Bandung Tahun 2020 akan dilaksanakan pada tanggal 23 dan 24 September 2020 secara online atau dalam jaringan (daring). Dikarenakan adanya pandemi Covid-19, pelaksanaan PBAK tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang biasanya dilaksanakan secara offline.
Kepala Bagian Kemahasiswaan, Wawan Gunawan menjelaskan pada hari pertama pelaksanaan PBAK, mahasiswa baru akan diberikan materi wawasan umum mengenai universitas. Sedangkan untuk hari kedua, mahasiswa akan diberikan materi wawasan khusus mengenai masing-masing fakultas berserta program studinya.
Lebih lanjut, untuk penampilan demografi Unit Kegiatan Mahasiswa/Unit Kegiatan Khusus (UKM/UKK) akan tetap ada, namun dilaksanakan secara offline. “Dikarenakan tak sedikit UKM/UKK yang mengajukan untuk offline, sehingga saya mengajukan ke pimpinan terkait permintaan UKM/UKK ini, dan pimpinan menyetujui asalkan tidak menyimpang. Untuk pelaksanaannya sendiri menunggu membaiknya kondisi pandemi Covid-19,” papar Wawan, Jumat (18/9/2020).
Kemudian terkait mekanismenya sendiri, PBAK akan dilaksanakan melalui aplikasi Zoom Meeting. Pihak kampus telah menyiapkan 10 akun berbayar, kurang lebih untuk 7300 peserta PBAK. Akan tetapi PBAK via daring ini hanya akan dilakukan dari pukul 06.30 – 13.00 WIB, mengingat beberapa kendala jika dilaksanakan satu hari full termasuk keterbatasan kuota para mahasiswa baru.
Adapun terkait atribut, Wawan juga mengungkapkan terdapat ketentuan dalam pakaian yang harus dipakai pada saat pelaksanaan PBAK. “Untuk atribut PBAK diantaranya menggunakan baju putih, bawahan hitam dan kerudung hitam untuk perempuan. Kemudian memakai kopiah dan dasi untuk laki-laki. Sedangkan untuk fasilitas yang mana merupakan hak mahasiswa seperti kaos, jas, sertifikat dan buku pedoman, akan dibagikan ketika kuliah tatap muka,” ungkapnya.
Berbeda dari tahun sebelumnya, untuk tahun ini juga peserta PBAK berkewajiban mengisi absen dan me-resume materi selama berlangsungnya PBAK melalui aplikasi yang sudah disediakan oleh Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD). Hal itu dilakukan untuk menjadi syarat kelulusan mengikuti PBAK, sehingga para peserta diharuskan menyimak materi-materi PBAK yang diberikan oleh para pemateri.
Kemudian untuk PBAK di tingkat fakultas memiliki mekanisme dan prosedurnya sendiri. Menurut Ketua Dema-F Ushuluddin, Helmi Mighfaza mengungkapkan pelaksanaan PBAK bukan hanya sekedar ceremony, tetapi ada perkenalan dan pertemuan lebih lanjut di grup. Sehingga ada kegiatan mentoring untuk mengenalkan dan membantu para mahasiswa baru.
Namun Helmi menyayangkan dan merasa perlu mengkritisi terkait kebijakan birokrasi yang terkesan mendadak dan kurang terencana mengenai pemberkasan. “Yang perlu dikritisi di sini perihal pemberkasan. sempat ada informasi dilaksanakan secara offline, namun baru-baru ini dengar kalau pemberkasan online. Hal ini membuat mahasiswa bingung dan menimbulkan pertanyaan. Mungkin ini bisa menjadi evluasi untuk birokrasi agar semuanya tidak mendadak dan direncanakan dengan baik.” Tutupnya saat diwawancarai Senin, (21/9/2020).
Warek I, Warek II, Warek III Warek IV mengisi sesi talk show pada Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) melalui Aplikasi Zoom dan disiarkan di YouTube UIN SGD Bandung, Rabu (23/9/2020). (Zahra Nayla/Suaka)
SUAKAONLINE.COM – “Saya, Rektor UIN SGD Bandung dengan ini melantik saudara-saudara sebagai mahasiswa baru UIN SGD Bandung tahun akademik 2020/2021,” ucap Rektor UIN SGD Bandung, Mahmud saat melantik dan memberikan sambutan dalam Sidang Senat Terbuka di hari pertama Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan, Rabu (23/9/2020). UIN SGD Bandung menerima mahasiswa baru sebanyak 8.015 orang dari program Sarjana, Magister dan Doktor.
PBAK 2020 dilaksanakan selama dua hari, Rabu (23/9/2020) dan Kamis (24/9/2020) melalui aplikasi Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube resmi UIN SGD Bandung. Dengan mengusung tema “Mahasiswa Pilar Berbangsa menuju Indonesia Emas 2045”, Mahmud mengatakan bahwa para mahasiswa yang masuk ke UIN patut berbangga karena akan menjadi sarjana yang profesional di bidangnya sekaligus memiliki akhlak mulia dalam menjalani kehidupan.
Mahmud juga berharap mahasiswa baru dapat menjadi sponsor moderasi beragama sekaligus membangun Indonesia emas di tahun 2045. Dalam akhir sambutannya, Mahmud berpesan agar mahasiswa baru meluruskan niat belajar di UIN SGD Bandung semata untuk menuntut ilmu dan mencari berkah Allah.
Selain rektor, Menteri Agama RI, Fachrul Razi juga turut memberikan sambutan, beliau berpesan agar mahasiswa terus belajar, rajin membaca, menimba pengalaman, merawat pergaulan dan mengasah hati serta pikiran untuk kepedulian sosial. “Selamat menjadi mahasiswa PTKI, selamat belajar dan sukses mengejar cita-cita, jangan berlama-lama,” tuturnya dalam sebuah video.
Sementara itu, penyampaian materi mengenai visi dan misi kampus, sarana dan prasarana, sistem perkuliahan, dan lainnya dikemas dalam bentuk talk show dengan empat narasumber yaitu Wakil Rektor I Rosihon Anwar, Wakil Rektor II Tedi Priatna, Wakil Rektor III Ahmad Fathonih, dan Wakil Rektor IV Ulfiah.
Wakil Rektor II, Tedi mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mengembangkan manajemen berbasis online sehingga kita tidak semata harus menghadapi mahasiswa face to face tapi juga melalui layanan-layanan yang berbasis online. Karenanya ia meminta mahasiswa baru untuk tidak khawatir karena segala bentuk pelayanan dapat terus berjalan meskipun secara online.
Beberapa kendala teknis dialami oleh peserta seperti banyak yang mengeluhkan sinyal tidak bagus dan keluar dari room meeting secara tiba-tiba. Hal itu mereka tuangkan dalam kolom komentar di kanal YouTube UIN SGD Bandung. Salah satu mahasiswi baru Pendidikan Biologi, Adinda Sulis Nurhaliza, mengaku lancar selama mengikuti PBAK.
“Alhamdulillah acaranya lancar dan tidak ada kendala jaringan. Hanya saja memang kita harus menyiapkan kuota yang banyak,” imbuhnya. Ia juga sangat antusias mengikuti setiap rangkaian acara, meski mengaku sempat hilang fokus karena suara pada aplikasi Zoom mengecil di pertengahan materi. Menurut Adinda, pengenalan kampus juga bisa melalui internet sehingga tidak ada alasan baginya untuk tidak menggali lebih jauh tentang kampus.
Sedangkan menurut mahasiswa baru jurusan Matematika, Muhammad Sadam Mutaqin, kegiatan ini menambah pelajaran dan pengalaman. Adapun kendala yang ia rasakan yaitu sinyal yang kurang stabil, namun tidak menghalanginya untuk tetap mengikuti dengan khidmat dan penuh antusias. “Saya bangga sekali menjadi mahasiswa UIN SGD Bandung dan ingin mengharumkan nama baik almamater dengan segudang prestasi dan hal-hal yang positif.” Tegasnya saat dihubungi via WhatsApp.
SUAKAONLINE.COM – Demonstrasi Unit Kegiatan Mahasiswa dan Unit Kegiatan Khusus (UKM/UKK) UIN SGD Bandung atau yang biasa disebut Inagurasi pada Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) tahun ini tidak dilaksanakan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Ah. Fathonih bahwa pelaksanaan Inagurasi masih belum ditentukan kapan pelaksanaannya.
Pelaksanaan Inagurasi masih dipertimbangkan dari aspek kuota yang digunakan oleh mahasiswa baru, penyerapan pesan dan aspek protokol kesehatan. “Yang masih kita pertimbangkan virtual tuh gini, kita harus pertimbangkan aspek kuota data mahasiswa, kemudian aspek sampai atau tidaknya pesan itu. kemudian aspek protokol kesehatan,” pungkas Fathonih ketika ditemui di ruang kerjanya pada Senin (21/9/2020). Lebih lanjut, Fathonih menjelaskan kekhawatirannya akan kejenuhan apabila PBAK dilaksanakan dengan durasi waktu yang panjang dalam sehari seperti PBAK sebelumnya.
“Bayangkan, jenuh tidak mahasiswa baru tuh, nonton dari jam 6 pagi sampai misalkan jam 5 sore? Oleh karena itu kita laksanakan sesederhana mungkin, dengan catatan pesan-pesan itu sampai kepada mahasiswa,” tambah Fathonih. Ia juga menjelaskan, meskipun Inagurasi pada tahun ini tidak diadakan ketika PBAK, Inagurasi akan tetap dilaksanakan secara offline pada waktu yang belum bisa ditentukan, ketika kondisi sudah kembali normal.
Inagurasi adalah sebuah ajang untuk UKM/UKK memperkenalkan, promosi, sekaligus menarik minat para mahasiswa baru untuk bergabung ke dalam UKM/UKK. Ketua Umum UKM Paduan Suara Mahasiswa (PSM), Aldi Krisnataldi mengatakan bahwa Inagurasi memang lebih baik dilaksanakan tahun depan. Mengingat apabila dilaksanakan tahun ini secara online, euforia dari inagurasi kurang terasa.
“Iya, karena kondisinya lagi seperti ini. Kalo online hanya lewat video juga kurang kondusif sepertinya, belum tentu mahasiswa baru yang ikut PBAK online juga menonton dengan seksama. Jadi lebih baik di tahun depan,” ujar Aldi ketika dihubungi melalui aplikasi WhatsApp, Rabu (23/9/20). Aldi mengaku tidak ada kekhawatiran mengenai persoalan rekrutmen yang akan dilaksanakan PSM. Ia mengatakan bahwa PSM sudah melakukan branding ketika wisuda dan juga PBAK online ini.
Berbeda dengan PSM, UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) merasa dirugikan dengan tidak adanya Inagurasi ini. Ketua Umum LPIK, Rizaldi mengatakan, kekhawatirannya akan semakin menurunnya peminat untuk UKM yang ia pimpin ini. “Jangankan tanpa inagurasi, dengan inagurasi juga selalu khawatir. Di tengah indeks minat literasi yg terus menurun,” ujar Rizaldi pada Rabu (23/9/20) saat dihubungi via WhatsApp.
Lebih lanjut, Rizaldi menjelaskan bahwa LPIK sudah menyiapkan rencananya untuk menarik minat mahasiswa baru bergabung dengan LPIK dengan cara membuat tulisan semacam refleksi yang akan mereka tembuskan ke jurusan-jurusan. Rizaldi juga menanggapi terkait dengan ditiadakannya Inagurasi dalam beberapa poin. Pada poin terakhir ia mengibaratkan UKM merupakan pembuluh darah dari kampus.
“UKM adalah pembuluh darah kampus (UIN Bandung) sebenarnya. UKM lebih kuat dari organisasi ekstra manapun di kampus, mengapa? Karena UKM memiliki post yang sudah lengkap dari intelektual, penyanyi, olahraga sampai petarung semuanya ada. Dan jika semua UKM mati? Maka minat dan bakat untuk membanggakan kampus bisa jadi ada di titik nadir.” Tutup Rizaldi.
SUAKAONLINE.COM, Infografis – Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September, diperingati setelah pemikiran Presiden Soekarno ditindaklanjuti oleh Menteri Pertanian, Soenaryo, bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Gadjah Mada dalam membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria. RUU tersebut akhirnya disetujui dan diberlakukan untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1960 sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.
Soekarno saat itu memiliki konsen terhadap agraria sebagai entitas bangsa. Soekarno percaya bahwa petani yang memiliki tanah sendiri akan menggarapnya dengan lebih intensif dan menganggap reforma agraria dapat menyelesaikan masalah agraria sisa kolonial dan feodalisme, sekaligus meletakkan fondasi ekonomi nasional. Adanya gelombang reforma agraria yang dilakukan oleh berbagai negara yang baru saja merdeka dari jajahan negara kolonial, juga turut mempengaruhi pemikiran Soekarno.
Sayangnya harapan itu tidak sesuai dengan realita. 60 tahun sudah UUPA disahkan, rakyat kecil hanya menguasai 6% tanah di indonesia. Hal ini berdasarkan Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2017, kurang lebih 71% tanah di Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan, 7% dikuasai oleh para konglomerat, baru sisanya sekitar 6% dikuasai oleh rakyat kecil.
Laporan ini juga, menyoroti situasi agraria sepanjang periode kekuasaan pemerintahan Jokowi, dari 2014 hingga 2019. Sepanjang 2014-2019, konflik agraria ada 2.243 kasus, mencakup 5,8 juta hektar wilayah konflik di seluruh provinsi di Indonesia. Data KPA 2015-2018 juga mencatat terjadi 1.769 konflik agraria melibatkan masyarakat adat, petani dan masyarakat pedesaan dengan peningkatan konflik mencapai 13-15% per tahun.
Konflik tersebut terjadi antara masyarakat, seperti petani, masyarakat adat, nelayan, atau warga miskin dengan kelompok badan usaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, properti real estate, tentara dan negara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menilai, aroma keberpihakan pemerintah terhadap investasi makin menguat di tengah makin kaburnya komitmen pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Makanya, sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik agraria yaitu sektor perkebunan. Hal ini dikarenakan adanya praktek pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah.Termasuk juga penggusuran dan pemindahan paksa demi pembangunan infrastruktur, pariwisata dan proyek konservasi. Izin kepada perusahaan perkebunan sawit keluar di atas lahan warga.
Peneliti dan Desain: Siti Hannah Alaydrus
Sumber : Catahu Konsorsium Pembaruan Agraria 2019, Serikat Petani Indonesia, Katadata.co.id, berbagai Jurnal
Dekan FEBI beserta jajarannya sedang melakukan talk show pada PBAK Fakultas FEBI, Kamis (24/9/2020) melalui Zoom Meeting. (Gemilang Yusrima Renic/Suaka)
SUAKAONLINE.COM – UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) tingkat Fakultas, pada Kamis (24/09/20) melalui Zoom Meeting dan live stream di kanal YouTube. Berbeda dengan PBAK Universitas, PBAK pada tingkat Fakultas ini diselenggarakan oleh tiap-tiap fakultas. Sebelumnya mahasiswa baru diharuskan untuk melakukan registrasi, kemudian diarahkan untuk masuk ke dalam room zoom meeting fakultas masing-masing.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Fauzan Ali R dalam sambutannya berharap bahwa kegiatan PBAK daring yang dilakukan akibat pandemi Covid-19 ini membawa perubahan yang positif bagi para mahasiswa UIN SGD Bandung. “Saya harapkan, bekal yang harus anda miliki selain memiliki pengetahuan yang luas tentang Ilmu Syariah dan Ilmu hukum, anda harus punya keterampilan tambahan, yaitu menguasai Teknologi Informatika. Sehingga proses perubahan ini tidak menindas anda tapi perubahan ini melahirkan ide, gagasan, dan kreatifitas baru” Ujarnya.
Dalam PBAK Fakultas ini, fakultas-fakultas di UIN Sunan Gunung Djati melakukan talk show dalam rangka untuk memperkenalkan lingkungan kefakultasan di bidang akademik dan non akademik. Wadek I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Deni Kamaludin Yusuf menyampaikan beberapa kebijakan akademik dalam FEBI. Dalam sesi ini dijelaskan terkait program studi dalam fakultas, metode pembelajaran, standar kelulusan, organ-organ dalam FEBI seperti Laboratorium Fakultas, Digital Business Corner, Galeri Investasi atau pojok Bursa Efek, BI Corner, Syariah Business Smart, desa binaan dan lain sebagainya.
Dengan adanya fasilitas dan kebijakan akademik yang baik, Deni berharap FEBI menghasilkan alumni-alumni sukses dengan bidang pekerjaan yang variatif. “Profil lulusan yang diharapkan itu, nanti saya mengharapkan secara akademik, kita semua lulusan fakultas ekonomi dan bisnis ada yang menjadi peneliti, praktisi, tenaga pendidik seperti dosen, guru atau pengajar lainnya, dan ada juga yang menjadi konsultan di bidang ekonomi dan bisnis,” harapnya.
Sementara itu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), membagi talk show ke dalam tiga sesi yaitu sesi pengenalan fakultas, pengenalan jurusan dan pengenalan fungsi perpustakaan. Dalam pengenalan fakultas, Dekan FISIP, M. Zuldin membahas beberapa poin penting seperti pengenalan lingkungan kemahasiswaan, tata tertib fakultas, program beasiswa, pusat karir, dinas kerjasama, serta organisasi intra dan ekstra di tingkat fakultas.
Untuk sesi selanjutnya, talk show tentang pengenalan jurusan. Dalam talk show ini dijelaskan sejarah berdirinya prodi, visi misi, dan ruang lingkup keilmuan. Salah satunya adalah Ketua Jurusan Prodi Sosiologi, Kustana. Kustana menjelaskan perihal keunggulan Prodi Sosiologi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung di antaranya yaitu keunggulan dari kualitas alumni dan kualitas pembelajaran.
“Unggul dalam pengertian di mulai dari proses pembelajaran yang kita tawarkan, kemudian unggul juga dari kualitas alumni yang kita hasilkan. Unggul disana dalam proses pembelajaran adalah dari materi atau mata kuliah yang kita berikan kepada mahasiswa. Selain kita mengadopsi potensi lokal dan nasional kita juga mengembangkan nilai-nilai islam,” jelasnya.
Mahasiswa Baru Prodi Sosiologi, Ananda Nira menyampaikan bahwa pengenalan jurusan pada PBAK tingkat Fakultas ini sangat bermanfaat baginya. “Setelah dijelaskan oleh Bapak Kustana tadi saya semakin yakin, semoga dengan mengambil jurusan Sosiologi ini saya bisa lebih memahami keadaan yang ada di masyarakat. Karena menurut saya mempelajari masalah di masyarakat itu menyenangkan.” Ungkapnya. Selain talk show, beberapa fakultas juga menampilkan video-video menarik seperti kegiatan perkuliahan, lingkungan kampus, dan video testimoni dari alumni.
Peternak ikan cupang, Rudin (36) memperlihatkan ikan cupang di galerinya, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Minggu (27/9/2020). Di masa pandemi ini omset penjualan ikan cupang meningkat hingga 60 persen. (Rizky Syahaqy/Suaka)
SUAKAONLINE.COM – Sejak kasus pertama pandemi Covid-19 ditetapkan di Indonesia pada Maret 2020, hingga saat ini jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah secara signifikan. Banyak sektor yang terdampak akibat virus ini, salah satunya sektor ekonomi. Namun nampaknya pandemi tidak berpengaruh pada mereka yang memiliki bisnis ikan cupang hias.
Selama masa pandemi hingga saat ini diterapkan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), para peternak maupun penjual ikan cupang hias tidak mengalami penurunan omset, bahkan meningkat. Salah satu peternak atau breeder ikan cupang, Rudin, menceritakan bahwa dirinya kebanjiran pembeli ketika pandemi seperti sekarang ini. Orang-orang terus berdatangan ke rumahnya dan ada juga yang meminta dikirim melalui jasa pengiriman.
“Kayaknya corona gak ngaruh ya buat usaha saya, karena kalau bisa dibilang omset penjualan tetap stabil. Saya juga heran orang-orang kok malah pada nyari ikan cupang padahal ekonominya lagi menurun. Tapi berarti itu memang rezeki saya,” kata Rudin sambil tertawa ketika ditemui di kediamannya di Sukatani, Kabupaten Bekasi, Minggu (27/9/2020).
Karena banyaknya pesanan dari pelanggannya, ia sampai membudidaya ikan cupang hias lebih banyak dari sebelumnya. Kalau pada hari-hari biasa ia hanya memijahkan paling banyak 10 pasang, namun setelah banyak pesanan ia bisa memijahkan 50 sampai 100 pasang ikan cupang hias. Tentu saja hal itu membuat dirinya bekerja lebih ekstra untuk mengurus ikan-ikannya agar tetap hidup dan indah dipandang mata.
“Kalau soal uang mah cukup, enak kalau megang duit mah, hahaha. Tapi saya jadi lebih ekstra cari pakan buat ikan, nguras ikan yang semakin banyak, apalagi saya sendiri ngurusnya, belum punya karyawan soalnya,” ceritanya. Menyoal omset yang didapat ketika pandemi, ia mengatakan omset penjualannya meningkat hingga 60 persen. Saat kondisi seperti ini, per hari ia bisa berpenghasilan Rp. 1.200.000, bahkan pernah mencapai Rp. 6.000.000 per hari.
Selain Rudin, peternak lainnya, Yayat, juga mengalami hal serupa dengan Rudin. “Kayaknya gak begitu berpengaruh Corona ini, soalnya orang-orang malah banyak yang nanyain ikan cupang hias. Katanya buat temen di rumah aja,” katanya saat ditemui di rumahnya di Cimahi Tengah, Kota Cimahi, Kamis (24/9/2020).
Yayat menambahkan, ikan cupang hias memang digemari banyak orang. Keindahan ekor dan warna pada ikan cupang hias menjadi daya tarik sendiri. Oleh karena itu, ikan cupang hias memang dirasa menjadi peliharaan yang enak dipandang mata. Hal itu membuat penghasilan tidak mengalami penurunan, tetap stabil. “Kalau penghasilan Alhamdulillah meskipun lagi corona kayak gini tapi omset gak turun, ya bisa dikatakan stabil bahkan bertambah sedikit,” jelasnya.
Salah satu penikmat ikan cupang, Reza, dirinya mengaku setelah dirumahkan dari pekerjaan merasa suntuk dan jenuh. Oleh karena itu, untuk mengobati kejenuhannya ia sengaja membeli ikan cupang untuk dipelihara dan di budidaya sambil mengisi waktu kosong akibat PSBB. “Penasaran aja, ternyata ikan cupang sekarang banyak jenisnya, terus tertarik dan kebetulan waktu saya kecil pernah pelihara ikan cupang adu, jadi saya coba beli ikan cupang hias sebagai teman di rumah sekalian mau budidaya sambil mengisi waktu kosong.” Tutup pria asal Bekasi tersebut.
Komite Aksi Solidaritas Kebebasan Berpendapat berdiri menyuarakan krisis demokrasi dalam Aksi Solidaritas di depan Gedung Pengadilan Negeri Kelas 1-A, Kota Bandung, Senin (28/9/2020).(Fauzan Nugraha/Suaka)
SUAKAONLINE.COM – Pada Senin (28/9/2020), sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas dan pekerja di Kota Bandung yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas Kebebasan Berpendapat berkumpul dan menggelar aksi solidaritas #CabutDOUNKHAIR di depan Gedung Pengadilan Negeri Kelas 1-A, Kota Bandung. Aksi ini bertujuan untuk menyuarakan krisis demokrasi yang diterima empat mahasiswa atas tindakan drop out yang dilakukan oleh intansi Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate.
“Aksi ini menyuarakan kepada publik mengenai krisis demokrasi di instansi akademisi di UNKHAIR Ternate dimana empat mahasiswanya dikeluarkan atau drop out secara sepihak oleh pihak kampus tanpa adanya proses pemanggilan atau konfirmasi terhadap mahasiswa yang bersangkutan. Pihak kampus beralasan mereka terlibat dalam aksi Front Rakyat Indonesia West Papua (FRI-WP) di depan kampus Muhammadiyah Maluku Utara pada 2 Desember 2019,” ungkap Michael Kharisma, Humas Komite Aksi Solidaritas Kebebasan Berpendapat saat diwawancarai Suaka, Senin (28/9/2020).
Dilansir dari Indopolitika.com, dalam lampiran Surat Keputusan, keempat mahasiswa itu disebutkan telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Misi UNKHAIR. Dalam Pasal 82 ayat (3) Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 83 Tahun 2017 tentang Statuta Universitas Khairun (Unkhair), Pasal 32 ayat (3) Peraturan Rektor Universitas Khairun Nomor 1714/UN44/KR.06/2017 tentang Peraturan Akademik, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2019 tentang Kode Etik Mahasiswa Universitas Khairun serta mengacu pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam keterangannya, mahasiswa dinilai mengancam integritas bangsa dan melanggar peraturan akademik karena melakukan aksi mendukung Papua merdeka. Dilansir dari LPM Kultura.com, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Kerjasama dan Alumni, Syawal Abdulajit membenarkan pemberhentian studi keempat mahasiswa itu. Keempatnya dikatakan telah melakukan tindakan makar, provokatif dan memecah belah Negara Kepulauan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Syawal isu soal HUT Papua merdeka itu mengancam kedaulatan NKRI dan perlu ditindak dengan tegas. Mahasiswa juga dinilai punya tendensi keberpihakan terhadap Organisasi Pembebasan Papua (OPM) yang mau memerdekakan diri sebagai negara sendiri, mencoret nama institusi dan keluar dari kode etik. Keempat mahasiswa tersebut diantaranya atas nama Arbi M. Nur dari Program Studi Kimia, Ikra S. Alkatiri dari Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Fahyudi Kabir dari Program Studi Elektro dan Fahrul Abdullah dari Program Studi Kehutanan.
Namun, tindakan mengeluarkan Surat Keputusan drop out secara sepihak tanpa keterlibatan dan keterangan dari mahasiswa terlebih dahulu dianggap tidak sesuai. “Adanya ketidaksesuaian. Dimana empat orang mahasiswa yang menyuarakan pendapat di muka umum, namun oleh pihak polisi dilaporkan kepada pihak rektorat, sehingga keluarlah SK drop out sepihak tersebut,”ujar salah satu partisipan Aksi Solidaritas, Alamsyah.
Alamsyah pun berharap pihak Universitas Khairun mencabut Surat Keputusan drop out terhadap empat mahasiswa yang bersangkutan. “Harapan kami pihak Universitas Khairun (UNKHAIR) mencabut Surat Keputusan drop out terhadap empat mahasiswa yang bersangkutan dan tidak ada lagi tindakan refresif yang dilakukan pihak kampus terhadap mahasiswa untuk menyuarakan pendapat di muka umum.”Tutup Alamsyah.
“Kalau Sema-U hari ini sukses menggelar Dema (Dema-U), maka sukseslah kepengurusan Sema-U untuk periode 2019.” Wakil Rektor Bidang III, Kemahasiswaan dan Alumni, Ah. Fathonih, (17/2/2020). Berangkat dari pernyataan tersebut, kami mencatat sejumlah kegagalan dari kepengurusan Sema-U periode 2019-2020.
Menilik tiga program terbesarnya; membuat Undang-undang, membentuk Dema-U, dan mengadvokasi kepentingan mahasiswa. Tidak satu pun dari tiga program tersebut terealisasi. Membandingkan dengan kepengurusan Sema-U sebelumnya yang menghasilkan dua UU, Sema-U periode ini tidak menghasilkan satupun. Termasuk kegagalan pembentukan Dema-U, dan minimnya akses untuk mengetahui urusan apa saja yang sudah mereka advokasi.
Singkatnya, berikut perjalanan Sema-U setahun kepengurusan jika disusun dalam sebuah bagan.
Ilustrasi: Hamzah Anshrulloh/Suaka
Sementara itu, keberadaan pengurusnya yang tidak bisa terdeteksi lagi, bukan alasan untuk mengabaikan pentingnya evaluasi terhadap kinerja mereka setahun ke belakang. Tulisan ini diharapkan mampu menjadi catatan khusus bagi kepengurusan berikutnya untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Sedikitnya kami mencatat terdapat empat masalah utama pada kepengurusan Umar Ali Muharom (red – Ketua Sema-U periode 2019-2020) dan kawan-kawan. Secara jelas kami susun dalam tulisan argumentatif berikut:
1. Manajemen Organisasi yang Buruk
Secara kumulatif Sema-U periode 2019-2020 menghabiskan waktu lebih dari sembilan bulan untuk agenda pembentukan Dema-U, atau ¾ dari waktu kepengurusannya. Dimulai sejak pembentukan kepanitian Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan Pengawas Pemilu Mahasiswa (BawasluM). Mengesampingkan munculnya catatan buruk soal transparansi, Sema-U butuh waktu 3,5 bulan hanya untuk membentuk kepengurusan lembaga ini.
Padahal jika melihat rencana awalnya, pembentukan dua kepanitiaan tersebut harusnya bisa selesai hanya butuh waktu kurang dari dua minggu. Dari yang rencananya pemilihan ketua KPUM dan BawasluM selesai pada 8 Agustus, kenyataannya Surat Keputusan (SK) kepengurusannya baru terbit tanggal 15 November. Bahkan jauh dari target Umar saat menyebut berharap Dema-U sudah terbentuk akhir Oktober.
Begitu juga Desember 2019 hingga Februari 2020 tak ada aktivitas. Padahal waktu berbulan-bulan yang dihabiskan Sema-U hanya untuk mengerami Dema-U baru yang tak kunjung menetas justru berefek panjang terhadap tugas-tugas mereka lainnya. Saat agenda pemilihan ketua KPUM dan BawasluM yang berlangsung berbulan-bulan, pada periode tersebut Sema-U hanya memantau pelaksanaan PBAK pada Agustus, dan sikap yang tidak jelas saat momentum demo besar-besaran mahasiswa pada bulan September.
Semuanya mungkin akan lebih baik jika Sema-U mampu mengorganisir agenda organisasi dengan rapih sehingga lebih patuh timeline. Ngaretnya pembentukan KPUM dan BawasluM ataupun lamanya waktu berdiam diri saat membahas legislative review sulit dimaklumi. Ini bukan lagi beban yang bisa dipilah-pilih, melainkan jadi kewajiban mereka sebagai organisasi kemahasiswaan satu-satunya setingkat universitas yang masih ada semenjak Dema-U kosong.
2. Pola Komunikasi yang Kacau dengan Ormawa-F
Minimnya komunikasi antara Sema-U dengan Sema-F dalam hubungannya sebagai sesama lembaga legislatif mahasiswa pun menimbulkan segala polemik kian runyam. Seperti masalah sepanjang pembentukan Dema-U tahun lalu, penjaringan anggota KPUM dan BawasluM tanpa memberi kabar kepada jajaran Ormawa-F justru menyisakan polemik baru.
Ketua Sema-F Dakwah dan Komunikasi, Umar Taufiq Ash Shiddiqi menyebut tidak ada koordinasi sama sekali terkait pendaftaran panitia dua lembaga tersebut. Umar juga mendapat laporan beberapa HMJ yang tidak mengetahui delegasi mereka yang menjadi panitia KPUM dan BawasluM. Jawaban senada dengan Umar juga bisa ditemukan dalam wawancara Suaka dengan beberapa perwakilan Sema-F lainnya. Sementara dalam ayat (1) pasal 4 Konstitusi Keluarga Mahasiswa (KKM), Sema-U juga punya fungsi koordinasi dengan jajaran Sema-F.
“Sema-U lebih banyak bergerak sendiri dari pada berkordinasi dengan Sema-F,” ujar Umar dalam wawancara dengan Suaka Juli lalu. Padahal jika dipikir-pikir, bila Sema-U lebih terbuka dengan Ormawa-F, beberapa masalah mereka bisa lebih cepat terselesaikan. Salah satunya debat kusir menyoal legislatif review yang memakan waktu lama.
Efek domino kekacauan kepengurusan mereka makin terasa memasuki empat bulan Sema-U resmi lengser. Kini giliran jajaran Ormawa-F yang gelagapan saat dihadapkan pada permasalahan krusial yang harusnya jadi tugas Ormawa-U. Banyak aspirasi yang telah dihimpun oleh Ormawa-F tidak bisa tersalurkan dengan maksimal, pasalnya pola komunikasi mereka dengan rektorat maupun dengan sesama Ormawa dari kampus lain jadi semakin panjang tanpa adanya Sema-U.
3. Minimnya Pelaporan Kegiatan
Kepengurusan yang hilang mendadak membuat Sema-U luput melaporkan kinerja mereka setahun terakhir lewat tidak adanya Musyawarah Tingkat Tinggi Universitas (Musti-U) untuk pertanggung jawaban kinerja mereka. Satu-satunya ruang untuk mengintip kinerjanya hanya dapat diikuti melalui unggahan Sema-U di media sosial Instagram.
Jika menganalisa histori unggahan mereka sejak dilantik, kami mencatat mereka hanya memiliki 31 unggahan selama setahun kepengurusan. Diperiksa lebih jauh lagi, sebagian besar unggahan mereka bukanlah laporan kegiatan, melainkan iklan layanan masyarakat dan ucapan basa-basi ala Sema-U.
Kami mencatat aktivitas Instagram Sema-U paling aktif terjadi sepanjang Juli dan Agustus. Bulan ini merupakan kuartal pertama mereka menjabat. Bisa ditebak, euforia pasca pelantikan mungkin masih terasa di bulan tersebut dan membawa mereka hanya terlihat gencar beraktivitas sana-sini di awal kepengurusan. Sayangnya mulai lesuh saat di pertengahan jalan hingga menuju akhir.
Selain itu, ada yang unik dari media sosial Sema-U. Mungkin telah menjadi budaya bagi mereka menempelkan foto officio, ketua Sema-U dan Sekertaris Jendral (Sekjen) Sema-U, juga beberapa alumninya yang masih eksis lewat ucapan kelulusan. Ukuran foto ditampilkan lebih besar dari logo lembaga ataupun tulisan yang harusnya menjadi poin utama unggahan tersebut.
Tidak ada alasan lain selain bertujuan menunjukkan eksistensi kepengurusan mereka. Namun apakah ini bekerja? Tidak. Sekalipun foto ketua Sema-U sudah dibuat dengan ukuran yang maksimal, tetap saja mahasiswa tidak tahu siapa dan apa itu Sema-U.
Kami membandingkannya dengan hasil riset yang telah dilakukan oleh tim riset Suaka beberapa bulan lalu. Hasilnya 72% mahasiswa mengaku tidak tahu siapa yang menjadi ketua Sema-U. Tidak sendirian minim eksistensi, bahkan hanya 14% dari mahasiswa yang tahu daftar pengurus Sema-U dan 19% yang tahu perwakilan mahasiswa fakultasnya di jajaran tersebut. (Hasil lengkapnya dapat dilihat langsung https://suakaonline.com/72-mahasiswa-tidak-tahu-ketua-sema-u/
Melihat hasil riset Suaka tersebut, cukup untuk disimpulkan bahwa strategi yang sudah dilakukan Sema-U dengan memperbesar ukuran foto pimpinannya tidak sepenuhnya mendongkrak eksistensi mereka. Tidak ada yang lebih penting dari sekedar aksi nyata mereka sebagai perwakilan mahasiswa. Jika mereka lebih dediktif bagi mahasiswa, mungkin mereka bisa lebih banyak dikenal. Karena itu kami juga mengusulkan, alih-alih mendompleng popularitas sebagai pengurus ormawa universitas, ada baiknya kepengurusan Sema-U selanjutnya lebih banyak kerja ketimbang mengumbar nama saja.
Hal penting lainnya yang juga harus diketahui, Sema-U hanya sekali mengadakan kegiatan penyerapan aspirasi seumur masa jabatannya, yaitu pada 28 Juli 2019 atau sebulan pasca dilantik. Hanya saja kegiatannya tidak efektif karena diselenggarakan saat musim libur semester sehingga jumlah peserta yang hadir juga terbatas.
4. Tidak Responsif terhadap Warisan Masa lalu
Kini saatnya mendedah masalah yang ada pada Undang-Undang Sema-U No. 2 tentang Pemilu Mahasiswa. Masalah ini merupakan polemik lama yang kembali bergulir di pertengahan jalan saat pembentukan Dema-U. Salahnya, lagi-lagi Sema-U terlalu santai memberikan kesempatan masalah ini diperdebatkan terlalu lama, yang ujung-ujungnya hanya menghambat produktivitas lembaga.
Sebagaimana penjelasan dalam poin pertama, dari sembilan bulan pembentukan Dema-U, lima bulannya fokus dipakai untuk menyelesaikan polemik UU No. 2 hingga akhirnya mereka memasuki purnatugas. Sebenarnya, agenda pembentukan Dema-U yang benar-benar fokus membahas teknisnya hanya berlangsung selama empat bulan, hampir setengah tahun sisanya dihabiskan untuk mendiamkan masalah perdebatan landasan hukumnya.
Menanggapi masalah UU No. 2, Sema-U akhirnya mengadakan forum senat yang mempertemukan jajaran Sema-F untuk menindaklanjutinya. Pertemuan tersebut hanya berlangsung sekali, yaitu pada 11 Maret 2020. Itu pun setelah surat dari jajaran Sema-F sudah masuk tiga bulan sebelumnya, juga sempat disentil oleh Warek III karena tak kunjung mengambil tindakan.
Pada saat forum berlangsung, yang terjadi hanyalah perdebatan alot tidak menghasilkan kesepakatan, sampai akhirnya forum ditunda hingga keesokan harinya. Bak pulau sudah lenyap, daratan sudah tenggelam, siapa sangka itu justru jadi hari terakhir Sema-U muncul di depan jajaran Sema-F. Perwakilan Sema-U hanya mengonfirmasi batalnya forum lanjutan karena alasan “Tidak ada tempat”.
Sekilas terkait UU ini, peraturan tersebut merupakan pedoman yang diterbitkan oleh Sema-U pada periode sebelumnya 2018-2019 yang secara eksklusif menjelaskan tentang Pemilu Mahasiswa pada tataran teknis. Membahasa tentang perekrutan kepanitiaan hingga prosedur pemungutan suara. Aturan ini ditandatangani oleh Sema-U sebelumnya, Acep Jamaludin pada tanggal 30 Mei 2018.
Di penghujung tahun 2019 lalu, lima Sema-F mengajukan legislative review untuk mengkaji ulang UU No. 2 yang dianggap cacat dan tidak sah digunakan sebagai landasan pembentukan Dema-U. Kelima Sema-F itu diantanya adalah Sema-F Syariah dan Hukum, Sema-F Sains dan Teknologi, Sema-F Psikologi, Sema-F Dakwah dan Komunikasi, dan Sema-F Tarbiyah dan Keguruan.
Dalam beberapa keterangan yang kami dapat saat mengikuti forum senat Maret lalu, kecacatan yang ada pada UU tersebut dinilai tidak ilmiah dan nihil naskah akademik. Selain itu, poin-poin yang ada didalam UU tersebut juga dirasa kontradiktif dengan Konstitusi Keluarga Mahasiswa (KKM). Alasan lainnya, pengesahan aturan ini belum pernah melewati proses sosialisasi kepada jajaran Sema-F sehingga terkesan dipaksakan.
Namun kini sudah berakhir. Kepengurusan mereka habis awal Mei lalu di tengah libur pandemi. Jika ditagih pertanggungjawaban, kami tidak berharap mereka akan berkilah kehadiran pandemi menghalau berbagai aktivitas mereka. Sekalipun banyak juga HMJ dan Ormawa-F yang tetap bisa produktif di tengah berbagai tekanan baru.
Dengan berbagai catatan minus kepengurusan Sema-U 2019-2020, kami juga tidak luput mengingatkan jajaran Sema-F lebih proaktif mengatasi kekosongan ini. Mengingat pembentukan Sema-U baru melalui kepanitiaan Ad Hoc yang sepertinya akan ikut-ikutan ngaret. Sejak SKnya ditekan pada 24 Agustus, sudah lebih dari sebulan mereka sibuk merancang teknisnya. Kami sempat menghubungi beberapa panitia di penghujung September dan menyebut belum ada progres signifikan, dan kini kabarnya mereka baru akan memulai kembali beberapa agendanya dalam waktu dekat.
Tulisan ini sepenuhnya disusun dari hasil riset kami yang diambil dari peliputan berita LPM Suaka selama setahun terakhir terhadap kinerja Sema-U, linknya tercantum sebagai berikut;
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan Sastra Inggris, dan juga pengurus LPM Suaka bidang Riset, Data dan Informasi LPM Suaka serta Pimpinan Perusahaan LPM Suaka
Gerak Perempuan melaksanakan aksi Selasaan Online sesi 14 pada Selasa (6/10/20) yang dihadiri oleh beragam kolektif Indonesia juga Serikat Pekerja Rumah Tangga yang disiarkan di laman Facebook Indonesia Feminis. (Diyanah Nisa/Suaka)
SUAKAONLINE.COM – Beberapa kolektif daerah maupun nasional mengadakan aksi Selasaan yang ke-14, pada Selasa (06/10/2020). Aksi yang digagas oleh Indonesia Feminis tersebut mengambil judul “Tetapkan Agenda Penghapus Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai Prioritas DPR”. Gerakan kolektif ini diadakan daring melalui Zoom yang kemudian disiarkan secara langsung di halaman Facebook Indonesia Feminis.
Koordinator Lapangan, Eva Nurcahyani, perwakilan dari Lingkar Studi Feminis (LSF) Tangerang menyampaikan Pernyataan Sikap Aliansi Gerak Perempuan yang berisi tuntutan atas pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), menolak RUU Ketahanan Keluarga serta menolak pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja.
Eva Menyampaikan, RUU PKS yang sedianya menjadi payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah secara tergesa-gesa mengesahkan RUU Cipta Kerja yang mendapat banyak penolakan dari masyarakat dalam sidang Paripurna. Hanya perlu waktu yang singkat bagi pemerintah untuk merancang, membentuk dan mengetuk palu Omnibus Law Cipta Kerja, sebaliknya RUU PKS yang sejak 2014 didorong rakyat sama sekali tidak digubris.
Lebih lanjut, peserta aksi juga menyampaikan keresahannya atas apa yang akan terjadi melihat tidak kompetennya Pemerintah dalam menampung aspirasi masyarakat. Salah satunya adalah perwakilan dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT), Romzanah Arum menyatakan kekhawatirannya atas pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja pada keberlangsungan hidup para PRT.
“PRT selama ini kesulitan untuk mengakses hak-hak kami, bahkan sebelum Omnibus Law disahkan. Hak cuti hamil, cuti haid dan sebagainya itu kita gak dapat,” ungkapnya. Perwakilan BEM Jentera, Ika menyebutkan bahwa Pemerintah sama sekali tidak berfokus pada penanganan pandemi dan malah mati-matian membahas hal-hal demi kepentingan mereka sendiri. “DPR dan DPD alih-alih mengingatkan mereka, malah sama-sama berkolusi mengesahkan yang tidak penting,” pungkasnya.
Ketidak kompetenan pemerintah, menurut Ika juga dapat dilihat dari banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang meningkat selama PSBB berlangsung. Perempuan yang kedapatan tidak menggunakan masker di muka umum oleh Polisi diberi hukuman yang cenderung melecehkan dan mengobjektifikasi mereka. Urgensi pengesahan RUU PKS yang kasusnya nyata dan sangat banyak dianggap tidak lebih penting daripada pengesahan Undang-Undang yang masyarakat tolak.
Perwakilan Women Studies Center (WSC), Shella Syfa, kemudian menambahkan “DPR memang mendengarkan masyarakat, tapi, masyarakat yang mana?” tanyanya sebagai ekspresi ketidakpahamannya atas keputusan sebelah pihak DPR tersebut. Sebagai penutup, Eva menyatakan bahwa aksi online akan terus diadakan oleh kolektif anggota Aliansi Gerak Perempuan untuk bersama-sama mengawasi jalannya Sidang Paripurna.
Di pertengahan Maret, Indonesia dihadapi dengan wabah virus corona yang mulai menyebar di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini mengakibatkan banyak sektor mengalami kesulitan dalam menghadapi wabah virus asal China ini. Dimulai pertumbuhan ekonomi yang semakin surut, serta berbagai kegiatan-kegiatan yang harus dibatasi. Imbasnya, sektor pendidikan pun mengalami perubahan menjadi sistem pembelajaran secara online atau sering disebut dengan daring (dalam jaringan).
Kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini pun mesti dilakukan agar proses pendidikan tetap berlangsung. Mahasiswa maupun dosen mulai beradaptasi dengan menggunakan berbagai aplikasi yang ada untuk mendukung proses penyampaian materi. Namun, dari aplikasi yang digunakan selama proses pembelajaran tersebut, mahasiswa mengeluhkan semakin melonjaknya jumlah pengeluaran kuota dalam tiap bulan. Penyampaian materi dibuat sedemikian rupa, lalu ditonton melalui channel YouTube ataupun aplikasi conference lainnya. Meskipun kadang sebagian mahasiswa tidak dapat mengikuti karena permasalahan sinyal ataupun kondisi kuota yang tidak memadai.
Di sisi lain, UIN Bandung meluncurkan website resmi yang dinamai dengan E-Knows. Sebuah website untuk menunjang proses pembelajaran mahasiswa dengan dosen, baik itu dalam hal penyampaian materi, absensi, diskusi, kuis, dan hal lainnya. Namun, di semester genap, website E-Knows baru digunakan oleh beberapa dosen sebagai media pengajaran. Iya, tentunya mahasiswa ataupun dosen sudah lebih terbiasa menggunakan aplikasi lainnya, seperti WhatsApp Group, Google Classroom, Google Meet, Zoom dan aplikasi lainnya. Sehingga, pemakaian aplikasi-aplikasi ini pun berlanjut hingga penghujung semester.
Namun, di tahun ajaran kali ini UIN Bandung mewajibkan kepada seluruh civitas akademika untuk menggunakan website E-Knows sebagai media pengajaran yang utama. Tetapi, di minggu pertama perkuliahan mahasiswa mulai mengeluhkan sulitnya mengakses website E-Knows karena server yang down ataupun mahasiswa lainnya yang mengalami lupa password tetapi balasan e-mail yang tak kunjung masuk sebagai langkah selanjutnya untuk mengakses website E-Knows. Karena hal ini, akhirnya sebagian mahasiswa tidak dapat melakukan pengisian absen karena kerap kali server yang down. Selain itu, menu bar, toolbar/interface dirasa cukup rumit untuk website yang baru saja digunakan.
Saya harap agar birokrasi kampus untuk segera membenahi sistem kelola website E-Knows sebagai pelayanan alternatif KBM di kala pandemi. Keberlangsungan penggunaan E-Knows ini pun tidak dapat dipungkiri, karena pada jam-jam tertentu sebagian mahasiswa dari sembilan fakultas harus mengakses secara bersamaan. Tentunya, kendala server down inilah yang perlu ditingkatkan demi kenyamanan pembelajaran yang efektif bagi mahasiswa maupun dosen. Bahkan, interface yang terkesan rumit ini kiranya perlu dibenahi agar mahasiswa maupun dosen dapat dengan mudah menggunakan E-Knows.
SUAKAONLINE.COM – Persatuan Buruh Internasional menyurati Presiden Joko widodo terkait RUU Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). RUU tersebut dinilai tidak sesuai bagi kepentingan rakyat umum. Selain itu, Undang-Undang ini diklaim akan membuka minat investor untuk berinvestasi di Indonesia, akan tetapi berpotensi pula menjadi boomerang bagi Pemerintah sendiri.
Surat tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Umum Federasi Pekerja Kayu dan Bangunan Internasional (BWI), Ambet Yuson; Sekretaris Umum Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC), Sharon Burrow; Sekretaris Umum Federasi Pekerja Transportasi Internasional (ITF), Stephen Cotton; dan lainnya.
Mereka menyayangkan keputusan DPR RI atas perubahan kebijakan ekonomi ketika seharusnya pemerintah berfokus pada krisis kesehatan publik. Kemudian diperburuk dengan peringkasan perundang-undangan mengenai investasi dan buruh juga kurangnya anggaran pada layanan publik. Hal tersebut, tambah mereka, juga mengancam proses demokrasi publik, khususnya pada saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dijalankan.
Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) pada suratnya mengatakan, “Pemerintah harus mencabut undang-undang tersebut dan mengadakan diskusi yang konstruktif dengan serikat pekerja Indonesia tentang perubahan apapun yang dibuat terhadap ketentuan ketenagakerjaan dalam undang-undang.”
Surat tersebut juga menggaris bawahi kebijakan pemerintah yang kurang sesuai dengan kondisi. Alih-alih berfokus pada penghentian cluster-cluster yang menjadi sumber penyebaran virus COVID-19 yang salah satunya juga berpusat pada pabrik-pabrik. Keputusan yang terburu-buru ini dapat berpotensi meningkatkan penyebaran atas ketidakpedulian mereka terhadap keputusan yang berpihak pada masyarakat.
Hal tersebut dapat terjadi, karena mau tidak mau, masyarakat, khususnya serikat buruh harus turun aksi untuk memprotes pengesahan kebijakan tersebut. Itu dapat dilihat dari 15 kelompok aktivis yang dengan tegas menolak keputusan yang kemudian menyatakan seruan untuk aksi turun lapangan. Lebih lanjut, laman resmi BWI menegaskan, “UU Cipta Kerja mengesampingkan hak dan kesejahteraan pekerja yang bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” Selasa (6/10/20).
Surat dari Global Union ini berisi lima tuntutan utama kepada Pemerintah: (1) mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, (2) menjamin kebijakan mendatang tidak mengurangi hak dan kepentingan pekerja yang telah diatur pada UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, juga standar buruh Internasional, (3) menegosiasikan dan membuka diskusi konstruktif dengan Serikat Pekerja Nasional untuk membahas isu apapun yang tidak tercantum pada UU sebelumnya.
(4) menghormati UUD dan putusan MK No 111/PUU-XII/2015 yang melindungi energi sebagai barang publik dan layanan yang dikendalikan negara, (5) dan memulai perundingan yang melibatkan serikat pekerja, perwakilan komunitas, dan gerakan sosial dalam mengembangkan rencana pemulihan dampak Covid-19 yang dirancang untuk memperbanyak pekerjaan yang layak, layanan umum yang berkualitas dan pembangunan yang sustainable.
Selain dari Serikat Buruh internasional, investor global yang mengatur perputaran uang sebanyak 4.1 Triliun Dollar Amerika di Indonesia juga menunjukkan perhatiannya atas RUU Cipta Kerja bahkan sebelum Paripurna dilaksanakan. Reuters melansir surat yang berisikan keresahan dari 35 investor termasuk Aviva Investors, Legal and General Investment Management, the Church of England Pensions Board, Robeco dan Sumitomo Mitsui Trust.
“Meskipun kami sadar akan pentingnya reformasi hukum bisnis di Indonesia, kami juga khawatir atas pengaruhnya (Omnibus Law, UU Cipta Kerja) atas beberapa kebijakan perlindungan lingkungan yang ada”, ujar Senior Engagement Specialist Robeco, Peter van der Werf pada Reuters, Senin (5/10/2020). Mereka juga khawatir UU tersebut dapat menghambat upaya melindungi hutan Indonesia sehingga memungkinkan merusak usaha global dalam mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati dan memperlambat perubahan iklim.
Reporter: Diyanah Nisa dan Chamid Nur Muhajir/Suaka